Selamaperiode pengamatan dinaungi awan mendung dan diliputi angin yang bertiup lemah ke arah selatan. Baca: Material Hitam di Lereng Barat Merapi Bukan Kubah Lava Baru. BNews–MAGELANG– Gunung Merapi yang menyimpan sejuta misteri ternyata memilki hal lain yang harus kalian ketahui. Ya, soal wisata dan lokasi indah yang patut kalian kunjungi setiap akhir pekannya. Mulai wisata alam hingga buatannya, dengan latar belakang gunung merapi memang layak untuk dikunjungi. Khususnya yang berada di Kabupaten Magelang, terdapat beberapa wisata yang sangat menarik. Gunung Merapi sendiri untuk di sisi Kabupaten Magelang terdapat di tiga wilayah. Yakni Kecamatan Sawangan, Dukun dan Srumbung. Dimana setiap Kecamatan terdapat beberapa lokasi wisata yang harus dikunjungi. Dan kali ini mencoba merangkum beberapa lokasi wisata di lereng merapi Magelang terekomendasi. Terjun Kedungkayang Salah satu spot foto di Kedung Kayang dengan latar belakang air terjun dan gunung merapi Foto– yosafatyk Sebuah air terjun yang mengali di kaki Gunung Merapi ini tampak indah. Berlokasi di Desa Wonolelo Kecamatan Sawangan Kabupaten Magelang ini, pengunjung bisa menikmati kesegaran air terjun Kedungkayang. Air Terjun Kedung Kayang bisa ditempuh melalui jalan utama Magelang-Boyolali. Nantinya akan ditemukan plang penunjuk arah beruliskan Air Terjun Kedung Kayang. Area parkir kendaraan pun tidak jauh lagi. Usai membayar tiket masuk sebesar Rp dan tarif parkir Rp untuk sepeda motor, perjalanan menuju air terjun dilakukan dengan berjalan kaki. Nantinya akan dijumpai dua persimpangan, yakni ke spot panorama atas atau menuju titik air terjun. 2. Candi Asu WISATA Candi Asu di Kecamatan Dukun tampak dari depan dan sedang ada pengunjung Foto–Istimewa Candi Asu Sengi berlokasi di Dusun Candi Pos, Desa Sengi, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang. Sekitar 25 Km dari Candi Borobudur ke arah timur laut. Candi ini merupakan candi peninggalan jaman kerajaan Mataram Kuno dari trah Wangsa Sanjaya Mataram Hindu. Candi ini berada di lereng Gunung Merapi sebelah barat di tepian Sungai Tlingsing Pabelan. Di dekat candi tersebut terdapat 2 buah candi Hindu lainnya, yaitu Candi Pendem dan Candi Lumbung. Dalam prasasti-prasasti disebutkan bahwa Candi Asu Sengi merupakan tempat suci untuk melakukan pemujaan, baik pemujaan kepada arwah leluhur maupun para arwah raja-raja serta dewa-dewa. Tidak usah khawatir juga dengan harga tiket karena untuk masuk ke Candi Asu tidak dipungut biaya. Pengunjung hanya diminta biaya parkir saja untuk tambahan biaya perawatan. 3. Pos Pengamatan Gunung Merapi Babadan Tampak Gunung Merapi dari Pos Babadan Dukun Magelang Tempat ini merupakan salh satu lokasi terbaik untuk mengamati Gunung Merapi. Pos ini terletak 1278 m dari permukaan laut dan hanya berjarak 4,4 km arah barat laut dari puncak gunung. Untuk alamtnya masuk Desa Krinjing Kecamatan Dukun, Kabupatan Magelang, Jawa Tengah. Meskipun bukan sebuah tempat wisata secara resmi, namun banyak pengunjung yang berdatangan ke lokasi tersebut. Selain menikmati keindahan gunung merapi dari jarak dekat dan asrinya alam sekitarnya, pengunjung bisa belajar soal Merapi. Cukup membayar parkir saja karena memang belum ada tiket masuk kawasan ini. Menariknya lagi, kendaraan mobil bisa mencapai lokasi parkir pos ini. Karena memang jalan sudah beraspal dan cukup dilalui. Bisa melalui jalur evakuasi Mangunsoko atau pasar sayur soko Sewukan. Kami rekomendasikan lewat jalur Pasar Soko Sewukan karena jalannya lebih baik. 4. Jembatan Jokowi ISTIMEWA Tampak udara jembatan jokowi dan pemandangan indah alam disekitarnya Foto– 740aerialvideography Jembatan gantung Jokowi di lereng merapi sekarang tampil beda dan lebih keren. Tentunya lebih asyik buat berfoto ria dengan latar belakang gunung merapi.. Sebuah jembatan penghubung Desa Sumber dan Mangunsoko Kecamatan Dukun itu memang dikenal nama istilah Jembatan Jokowi nama presiden Indonesia dan diresmikannya 2017 silam. Kini jembatan besi dengan panjang 120 meter diatas sungai senowo tersebut penuh warna-warni karena dilakukan pengecatan. Tidak hanya itu sekarang September 2020 terdapa beberapa wahana bermain tambahan. Seperti kolam ikan dan taman bermain anak. Pengunjung cukup menbayar parkir saja di lokasi tersebut. Dan jangan lupa beli jajanan disana untuk membantu perekonomian warga. 5. Pasar Tradisi Lembah Merapi KEREN Sel;ain wisata kuliner, di Pasar Tradisi Lembah Merapi juga menyajikan spot foto keren berlatar belakang Merapi dan Merbabu. foto Istimewa Lokasi ini berlokasi di puncak bukit Gununggono Desa Banyubiru Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang. Pasar ini merupakan pasar wisata kuliner jadoel atau tempo dulu, dimana menawarkan berbagai jenis makanan dan minuman jawa kuno. Pasar ini hanya buka setiap hari Minggu pukul wib. Salah satu keunikan pasar berkonsep ”tempoe doeloe” adalah tidak berlakunya mata uang rupiah sebagai alat pembayaran. Model transaksi jual beli antara pembeli dengan pedagang wajib menggunakan dhono atau uang koin yang terbuat dari bambu. Untuk mendapatkan satu buah dhono, pengunjung dapat menukarkannya dengan uang sejumlah Rp 2 ribu rupiah. 6. OWA Jurang Jero Rumah Pohon di obyek wisata alam Jurangjero Srumbung Foto Istimewa Lokasi ini menyimpan beberapa potensi atraksi alam, antara lain pemandangan Gunung Merapi, hutan pinus, dan camping ground. Selain itu juga didukung dengan atraksi wisata Jeep, ATV, minitrail, taman bermain alam, dan kolam keceh. Untuk lokasinya masuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Merapi TNGM. Masih masuk wilayah Desa Ngargosoko, Srumbung, Kabupaten Magelang. Area ini didominasi pohon pinus merkusi dan beberapa lokasi dimanfaatkan masyarakat setempat untuk menanam rumput kolonjono. Potensi satwa terutama burung cukup tinggi di wilayah ini. Bagi Anda yang berkunjung ke tempat ini, dilarang membawa alat berburu, menyalakan api di sekitar kawasan itu, dan masih banyak lagi lainnya. Taman wisata ini cukup menyuguhkan pemandangan yang sangat eksotis. Pasalnya tumbuhan pinus yang tumbuh di sekitarnya membawa keindahan dan menyejukkan hawa di taman wisata ini. bsn
PotensiGempa Megathrust di Pantai Selatan Jawa, Pemda DIY Siapkan Penanganan. Sabtu, 20 Juli 2019 | 15:13 WIB Oleh : Fuska Sani Evani / JASJAS
Oleh Ki Jagabaya Amalindo Bumbung 6 Kedua orang dari Kademangan Cangkringan itu terdiam, kepalanya telah tertunduk, tubuhnya telah merasakan perasaan sakit yang teramat sangat, seolah sendi - sendi pada tangan kanan mereka telah terlepas, tidak ada yang bisa mereka lakukan lagi kecuali menunggu belas kasihan seorang yang bernama Rudita. “Apakah kita pernah bertemu sebelum ini, ki sanak ?” Tanya Rudita perlahan Kedua orang itu tidak menjawab, wajahnya masih menatap tanah, penyesalan dan rasa takut telah membelit jantungnya. Melihat kedua orang Cangkringanitu tidak berdaya lagi maka serentak orang - orang dalam kedai itu telah keluar dan Nyi Sarmini telah berdiri di paling depan, tangan perempuan itu terlihat bergerak - gerak seakan hendak meremas kedua wajah yang menunduk itu, mulutnyapun terlihat komat - kamit menggerutu. “Bagaimana, apa yang kisanak harapkan dariku ?” Suara Rudita masih terdengar sareh,” Apakah kisanak memerlukan uang ?” Tangan Ruditapun yang telah menggenggam uang itu segera terjulur. “Mohon ampun Ki sanak, aku tidak memerlukan uang itu lagi” kata Suro Bledek perlahan, suaranya terdengar kaku. “Lalu apa yang kisanak kehendaki ?” “Ampunilah kami kisanak” ucap Suro Bledek memohon. Terdengar Nyi sarmini menggeram pelan mendengar permintaan Suro Bledek itu, kening pemilik warung itu tampak berkerut tanpa sengaja telah memperhatikan wajah orang yang bernama Rudita itu, sangat jelas terlihat wajah itu tidak rusak setelah terkena pukulan kedua orang Cangkringan itu, wajah yang tetap tersenyum, sama sekali tidak menunjukkan rasa sakit sedikitpun, tubuh orang itu nampak segar seperti saat orang itu datang pertama kali ke kedainya. Semua orang yang tengah berdiri di belakang Rudita itu nampak keheranan melihat sikap orang yang berbaju lurik itu, tangan mereka terasa gatal untuk segera menyentuh keduanya. “Kenapa orang itu begitu sabar ?” gumam orang bertubuh kurus pelanggan kedai Nyi Sarmini kepada orang yang tengah berdiri disebelahnya. “Kenapa orang yang bernama Rudita tidak menghukum kedua orang yang telah mencoba mencelakainya itu ?” Sebuah pertanyaan telah membelit di dada Nyi Sarmini. Mereka semua membeku seolah menunggu dan melihat apa yang hendak dilakukan oleh orang yang bernama Rudita itu. Dalam kebekuan itu telah terdengar derap beberapa ekor kuda yang berlari mendekat, serentak semua mata telah memandang ke arah datangnya kuda - kuda itu. Tak lama kemudian rombongan orang berkuda itu telah berhenti di muka kedai Nyi Sarmini, Swandaru yang berada di paling depan segera meloncat turun dari kudanya dan telah diikuti dengan yang lainnya,” Ada apa ini, ?” Tanya Swandaru. Nyi Sarmini lah yang telah menjawab pertanyaan itu, kakinya telah melangkah kedepan, “Selamat datang Ki Swandaru” ucapnya, rupanya pemilik warung itu telah mengenal anak Ki Demang Sangkal Putung itu. “Ada apa Nyai, apakah seseorang telah membuat keributan di kedaimu ?” Swandaru telah berjalan lebih mendekat, dan katanya” Apakah kau telah membuat keributan disini ki sanak ? Kalau kau yang membuat keributan maka aku akan menghentikanmu, apakah kau belum pernah mendengar nama Swandaru Geni ?” Nampak orang yang berbaju lurik itu tidak menjawab, wajahnya telah menunduk, seolah sedang menghitung jari kakinya. “Bukan dia Ki Swandaru, tetapi kedua orang yang sedang duduk di tanah itu” Jelas Nyi Sarmini. Segera Swandaru menatap kedua orang itu, lalu katanya,” Aku tidak ingin melihat kesombongan terjadi disini di kedai ini.” Dalam pada itu kening Ki Jayaraga tampak berkerut, diamatinya orang berbaju lurik yang tengah menundukkan wajahnya itu, seakan orang tua itu telah mengenal sebelumnya. Sementara Pandan Wangi yang berdiri di belakang Ki Jayaraga telah menyibak dan berjalan kearah orang yang berbaju lurik itu, tanpa ragu telah di pegangnya tangan yang membeku itu,” He ! Apakah kalian tidak mengenal Rudita lagi, putra Ki Waskita ?” katanya lantang. Suara itu bak guntur di siang hari, menggelegar di telinga Swandaru, bahkan Ki Jayaraga dan Sukra telah terperanjat mendengarkan suara Pandan Wangi itu. “Rudita, sudahlah jangan bermain - main lagi” terdengar suara lembut Pandan Wangi. Orang berbaju lurik itupun telah mengangkat wajahnya, perasaan malu dan bersalah telah berdesakan di dalam rongga dadanya, katanya,” Maafkan Aku Pandan Wangi, kakang Swandaru, Ki Jayaraga dan kau Sukra, sama sekali bukan maksudku menunjukan kesombongan di hadapan kalian semuanya, aku telah benar - benar menyesal berbuat seperti ini,” Rudita benar - benar telah menyesal, sama sekali tidak terlintas di benaknya untuk memamerkan ilmu kebalnya, apalagi dihadapan mereka yang memang mendalami ilmu kanuragan, dia hanya ingin melindungi dirinya, dia tidak ingin membuat persoalan apalagi menyakiti siapapun, tetapi sisi lain di relung hatinya telah mengatakan bahwa dengan mempelajari ilmu kebal itu maka dia telah mulai melangkah mencurigai dan memusuhi sesamanya. Berdiri seperti patung, tak sepatah katapun terucap dari mulut Swandaru itu, Rudita baginya adalah seorang yang sangat aneh hampir sama seperti kakak seperguruannya, sikapnya sulit untuk dipahaminya. Meskipun sudah berumur baginya Rudita adalah tetap seorang yang cengeng dan seorang yang tidak berani melihat kenyataan hidup. Ki Jayaraga tengah menarik dafas dalam - dalam, dia telah mengenal anak Ki Waskita itu, meskipun sudah lama tidak bertemu, orang tua itupun telah mengenal wataknya, maka katanya” Angger Rudita, apakah yang telah terjadi ? Angger tidak usah berkecil hati seolah kami mengatakan angger sebagai orang yang berpaling dari keyakinan yang telah angger yakini itu, tidak ngger, kami justru memujimu, kamilah orang - orang yang justru telah memelihara kecurigaan itu dalam hati kami dengan dalih waspada, suatu saat akupun ingin menjadi sepertimu, punyai hati damai dan tidak punya rasa curiga” Orang - orang yang berkumpul di kedai itu benar - benar tidak mengerti akan sikap orang yang ternyata bernama Rudita itu. “Aku menyerahkan semua persolan ini kepada Ki Jayaraga, kedatanganku di Jati Anom ini adalah sekedar lewat sebenarnya aku ingin pergi Ke Sangkal Putung untuk menemui Nyi Pandan Wangi” terdengar suara Rudita bergetar, seolah ia ingin menjelaskan persoalan yang sebenarnya. “Tetapi sebelumnya aku mohon kalian semua memaafkan kedua orang itu, biarlah mereka pergi, mereka tidak akan berbuat jahat lagi” terdengar permintaan Rudita. Swandaru telah membisu pandangan matanya telah beralih memandang pepohonan di sekitar kedai itu, Sukra nampak menggeleng - gelengkan kepalanya sedangkan Pandan Wangi telah tersenyum dan Ki Jayaraga telah menarik nafas dalam - dalam, katanya,” Baiklah angger Rudita, kami akan melepas keduanya, tanpa syarat apapun, biarlah mereka pergi, kemanapun yang mereka inginkan,” Kepada Swandaru orang tua itupun mengatakan,” Silahkan angger semua masuk ke dalam kedai, bukankah kita memang mau makan, biarlah aku mengurus kedua orang ini, baru kemudian aku akan menyusul” Ki Jayaraga tetap berdiri ditempatnya, dipandanginya orang - orang yang yang tengah berkumpul itu,” Silahkan ki sanak membubarkan diri dan lupakan peristiwa ini.” Swandaru yang mendengar permintaan Ki Jayaraga tanpa menunggu lebih lama kakinyapun segera melangkah masuk ke dalam kedai itu dan segera dipesannya beberapa pincuk makanan kesukaannya, Pandan Wangi, Rudita dan Sukrapun telah mengikutinya. Terlihat Nyi Sarmini dengan cekatan telah melayani tamu - tamunya. Sore hari itu Kademangan Sangkal Putung, benar - benar menampakan wajah yang sumringah, betapa tidak kehadiran Swandaru benar - benar telah menggembirakan rakyat kademangan yang subur makmur itu, mendengar kedatangan Swandaru hampir semua bebahu kademangan telah berkumpul di pendapa rumah yang besar itu, orang - orang itu menanyakan apa saja yang terlintas di benak mereka, seakan menyambut kedatangan seorang raja maka pendapa itu semakin malam semakin penuh dengan orang - orang yang ingin menyatakan kegembiraannya. Ki Demangpun telah menjamu mereka semuanya, semua makanan yang ada di dapurpun telah mengalir menuju pendapa. Orang tua itu tak henti - hentinya menjawab semua pertanyaan yang diajukan kepadanya, bahkan katanya kepada Ki Jayaraga saat mereka berada disudut pendapa itu,” Aku merasa aneh Ki Jayaraga, kenapa orang - orang selalu bertanya kepadaku ? Seolah aku telah terilbat dalam perjalanan Swandaru, seolah aku telah pergi ke Menoreh.“ Ki Jayaraga tersenyum simpul, katanya,” Itulah kelebihan Ki Demang, mereka sangat mencintai dan menghormati pemimpinnya, jiwa dan hati mereka telah tertambat pada tanah kelahiran serta kecerahan hati Ki Demang sekeluarga.” Di dalam rumah, kegembiraan Swandaru terasa sedikit terkurangi, saat satu pertanyaan melintas di benaknya,” Apakah keperluan Rudita datang ke Sangkal Putung ? Apakah perlunya Rudita menemui Pandan WangI ?” “Pada saatnya aku akan mengerti” gumamnya dalam hati, pertanyaan itu telah dijawabnya sendiri. Bersamaan waktu, malam itu wayah sepi bocah, nampak seekor kuda bergerak perlahan mendekati Kepatihan, tergurat seleret keraguan di wajah penunggangnya tetapi kuda itu terus mendekat ke arah kepatihan, sampai saatnya seorang pengawal menegurnya, “Berhenti ki sanak,” Penunggang kuda itupun telah meloncat turun dan segera memberi salam, pengawal yang menghentikan kuda itu segera melangkah maju, diamatinya sejenak wajah penunggang kuda itu , lalu beberapa pertanyaanpun telah meluncur dari mulutnya,” Siapakah ki sanak ini ? Hendak kemana malam - malam begini ?” “Aku akan menghadap Ki Patih Mandaraka, ki sanak, Apakah Ki Patih Mandaraka ada di Kepatihan ?” tanya penunggang kuda itu. Pengawal itu tidak segera menjawab pertanyaan orang itu, diperhatikannya wajah penunggang kuda itu, seraut wajah yang bersih dengan kumis tipis melintang rapi, ternyata mata pengawal itu tidak hanya berhenti pada wajah orang itu, diamatinya seluruh pakaian dan punggung orang orang yang baru datang itu,” Tentu orang ini adalah bangsawan menilik pakaian yang dikenakannya” pikir pengawal itu, namun hatinya terasa berdebar - debar ketika tidak terlihat olehnya keris yang terselip di pinggang belakang orang berkuda itu.” Apakah orang ini tidak membawa piyandel ? Biasanya seorang bangsawan selalu membawa keris kemanapun pergi” “Ki Sanak siapakah namamu ? Ada keperluan apa menghadap Ki Patih saat malam begini ?” Penunggang kuda itupun menghela nafas, dia sangat memahami sikap pengawal Kepatihan itu, sikap hati - hati. “Apakah aku harus berterus terang ataukah aku akan memakai nama lain sehingga terkesan lebih pantas,” pikiranya. Orang berkuda itu merasa geli atas sikapnya sendiri, saat ini ia berpakaian rapi dengan ikat kepala yang rapi pula, tidak seperti biasanya, apakah nama kesehariannya sesuai dengan pakaian yang dikenakannya itu ? Saat pikirannya tengah mengembara, keputusan telah diambilnya dan ia akan berterus terang saja supaya semua bisa berjalan cepat dan lancar, lalu katanya,” Namaku Timur… Timur Pamungkas, kisanak” kata orang itu perlahan. Pengawal yang telah memberhentikannya itu nampak mengingat - ingat namun nama Timur Pamungkas benar - benar sebuah nama yang belum pernah didengarnya. Sementara pengawal yang masih berdiri di gardu itu merasa curiga, mengapa kawannya belum juga selesai berbincang dengan penunggang kuda itu, segera saja dia melangkah mendekat untuk melihat apa yang sebenarnya telah terjadi, setelah mendekat katanya,” Apa yang terjadi ? Apa yang di kendaki orang ini adi ?” “Orang ini ingin menghadap Ki Patih sekarang, malam ini” jawab pengawal pertama “Siapa namanya” Tanya pengawal yang kedua. “Raden Timur Pamungkas” jawab pengawal yang pertema. Nampak orang berkuda itu sedikit terkejut ketika mendengar nama yang disebut oleh pengawal yang pertama itu, cepat - cepat orang berkuda itu menyahut,” Tidak ada Raden, hanya Timur Pamungkas itu saja ki sanak” Tetapi pengawal yang pertama itu justru tersenyum, sangat mengherankan, katanya” Ki sanak, melihat pengadegmu sebenarnya sebutan Raden sangat cocok dikenakan pada namamu, atau jika tidak maka kata Pangeran mungkin lebih cocok.” Orang berkuda yang bernama Timur Pamungkas itu tertawa kecil, baginya pengawal itu hanya bergurau tanpa menyadari arti dari kata - katanya. “Terserahlah padamu kisanak, Ki Patih tentu sudah menungguku, mumpung belum terlalu malam” kata penunggang kuda itu. Pengawal yang datang kedua itu segera bergerak, sambil berkata,” Adi tetaplah disini, biarlah aku yang akan menyampaikan kepada pengawal dalam, aku tidak tahu apakah nanti kisanak bisa diterima sekarang atau mungkin besok,” “ Terima kasih ki sanak, aku akan menunggu,” Sahut Timur Pamungkas perlahan. Pengawal kedua itu telah berjalan dengan cepat, masuk ke dalam istana kepatihan dan menghadap pimpinan pengawal dalem, segera disampaikan maksudnya. Pemimpin pengawal dalam itu segera mengerutkan dahinya ketika mendengar keterangan pengawal yang baru datang itu, hari ini telah terlampau malam untuk menghadap Ki Patih, tidak biasanya seseorang akan datang ke Kepatihan saat seperti ini, hanya beberapa Pangeran saja yang diperkenankan menghadap. Sejenak keraguan telah menghadangnya,” Bagaimana kalau yang dibawa tamu itu merupakan berita yang sangat penting ?” gumamnya dalam hati. Sebelum pimpinan pengawal dalam itu menemukan jawaban, terdengarlah suara derit pintu terbuka, sesosok tubuh dengan pakaian sangat rapi telah keluar dari ruangan dalam, seorang yang sudah sepuh meski wajahnya tetap memancarkan kewibawaannya. Terlonjak kaget semua pengawal itu, segeralah mereka menyembah dan manghaturkan kata,” Ampun Ki Patih” Orang tua itu tersenyum, sembari berkata,” Kenapa kalian tidak cepat - cepat memberitahu jika ada tamu ?” “Ampun Ki Patih, hamba ragu - ragu sebab hari telah malam,” jawab pemimpin pengawal dalam itu. Ki Patih tetap tersenyum, lalu katanya,“Baiklah, aku mengerti apa yang kau pikirkan, sekarang ikutlah denganku, menyambut tamu kita.” Ki Patih telah bergegas melangkahkan kakinya ke regol kepatihan, pengawal dalam pun telah mengikutinya dari belakang. Pertemuan yang sangat mengharukan, sebuah penantian yang cukup menegangkan bagi Ki Patih Mandaraka. Sepasang tangan tua itu telah menggenggam pundak tamunya dan tidak cukup itu saja, meski sesaat, Ki Patih Mandaraka seorang penasehat Mataram yang sangat disegani lawan ataupun kawan itu telah memeluk erat tubuh itu, tiada kata terucap, getar perasaan hormat telah mengaliri seluruh urat nadi kedua orang tua itu. Para pengawal yang berdiri disekitarnya terasa bagaikan bermimpi melihat kejadian itu, belum pernah mereka melihat tingkah laku sesembahannya seperti itu, tanpa sadarnya mulut mereka ternganga dan beberapa diantaranya telah menggosok - gosok matanya seolah mereka tak percaya. “Assalamualaikum Ki Patih,” Itu saja kalimat yang meluncur dari seorang Timur Pamungkas. “Iya - iya Kyai, waalaikumsalam” terbata - bata Ki Juru Martani menjawab salam itu Ki Patih itupun telah menguasai perasaannya, dengan tertawa perlahan dipandanginya wajah tamunya, sementara tangan itu masih melekat di pundak itu,” Luar biasa Kyai, luar biasa, Kyai nampak segar, lebih muda dan lebih perkasa,” “Ah, malam - malam begini Ki Patih masih sempat bercanda” Sahut orang itu, segeralah tangan Kyai Grinsing pun menjabat tangan Ki Patih Mandaraka itu. “Marilah masuk, aku tidak mempersiapkan apapun untuk menyambut kedatanganmu ini, Kyai” kata Ki Patih sembari melangkahkan kakinya kearah pendapa Kepatihan dan selanjutnya kedua orang tua itu telah melangkahkan kakinya menuju ruang tengah. “Terima kasih, tinggalkan kami berdua.” terdengar kata Ki Patih kepada para pengawalnya, saat keduanya telah duduk. Keduanya saling menanyakan kabar masing - masing setelah sekian lama tidak bertemu, sendau guraupun telah menyertai perbincangan kedua orang tua itu. “Siapa lagi nama yang akan Kyai pergunakan” tanya Ki Juru Matani sembari tertawa tertahan. Kyai Gringsing nampak tersenyum, katanya” Berbahagialah Ki Patih yang hanya punya satu nama, ki Juru Martani” “Kenapa Kyai ? Bukankah menyenangkan, jika kita punya banyak nama ?” tanya Ki Patih Mandaraka yang nama aslinya adalah Juru Martani itu. “Aku sering lupa dengan namaku sendiri Ki Juru,” jawab Kyai Gringsing, segeralah ruangan itu di penuhi gelak tawa kedua orang tua itu. “Nah, siapakah yang bersalah Kyai ?” “Aku sendiri” jawab Kyai Grinsing sambil tertawa. Nampaknya keduanya telah lupa dengan umur mereka masing - masing, keduanya tengah terlibat dalam pembicaraan yang sangat menyegarkan, kenangan mereka telah mengalir perlahan menyusuri waktu yang telah berlalu, saat - saat mulai menebang alas mentaok dan menjadikannya sebuah negeri yang besar, merekapun mengenang sosok Ki Ageng Pemanahan dan Raden Sutawijaya yang kemudian bergelarPanembahan Senopati, dua orang ayah dan anak yang telah meletakkan dasar yang kokoh bagi tegaknya negeri Mataram. Pembicaraan yang menyenangkan itu telah berlangsung beberapa lama, sampai pada saatnya Ki Patih mandaraka, berkata” Kyai, silahkan beristirahat di gandok yang telah dipersiapkan, besok kita sambung lagi pembicaraan ini tetapi sebelum Kyai meninggalkan tempat ini, ada satu pertanyaanku yang segera ingin mendapatkan jawabannya” “Pertanyaan apakah itu Ki Patih ?” tanya Kyai Gringsing dengan kening berkerut, terasa dadanya berdebar - debar. Nampak Ki Juru membetulkan tempat duduknya dan bergeser sejengkal mendekat, lalu katanya” Apakah Kyai mengenal Adipati Surabaya ?” Sesaat Kyai Gringsing terdiam, dicobanya mengingat - ingat nama beberapa Pangeran terakhir dari Majapahit baik yang dikenalnya secara langsung ataupun nama yang pernah disebutkan oleh kakek serta gurunya sebelum pergi. Ternyata dia benar - benar tidak menemukan nama yang terkait dengan keberadaan Adipati Surabaya itu. “Ternyata aku telah kehilangan perhatian terhadap perkembangan di daerah bang wetan, aku tidak mengerti lagi apa yang telah terjadi, tentang Mataram pun saat sekarang aku juga kurang memahami apa sebenarnya yang tengah terjadi, kepergianku dari Jati Anom benar - benar membuatku tenggelam,” gumamnya dalam hati. selanjutnya” Aku telah menentukan jalanku sendiri” Orang tua itu sama sekali tidak pernah menyesali keputusannya. “Ki Patih Madaraka, mohon ampun yang sebesar - besarnya bahwa hamba tidak menemukan nama yang bisa dikaitkan dengan Adipati Surabaya, bahkan tentang Adipati itu sendiri hamba juga belum mengenalnya” kata Kyai Gringsing apa adanya Ki Patih pun tersenyum mendengar kata - kata itu, dipandanginya wajah sahabatnya itu, seolah telah melupakan perkataan yang baru saja didengarnya, katanya kemudian” Kyai, berbicara kepadaku sangatlah berbeda dengan saat kita berbicara kepada Sinuhun Prabu, aku telah mengerti siapa Kyai sebenarnya, kumohon Kyai dapat berbicara padaku dengan bahasa seorang sahabat sebagaimana bahasa Kyai saat berbicara dengan adi Pemanahan, dengan begitu aku akan merasakan arti sahabat yang sebenarnya.” “Tetapi, Ki Juru adalah seorang Patih Mataram” sahut Kyai Gringsing “Sedangkan Kyai adalah seorang Pangeran Majapahit” sahut Ki Pati tak kalah cepatnya. Keduanya tersenyum, persahabatan yang tulus diantara mereka, benar - benar terasa menyejukkan. “Baiklah, ternyata tidak ada pengetahuanku tentang Surabaya yang melebihi pengetahuan yang ada dalam diri Ki Patih, aku mohon maaf” kata Kyai Gringsing tulus. “Tidak apa - apa Kyai, di waktu mendatang kita akan mencari keterangan tentangnya, sekarang aku persilahkan untuk beristirahat, besok akan banyak yang harus kita bicarakan, aku mohon Kyai bermalam beberapa hari di Kepatihan, sebenarnyalah kehadiran Kyai sangat diharapkan oleh Panembahan Prabu, besok atau lusa kita akan menghadap.” “Baiklah Ki Patih” jawab Kyai Grinsing. Keduanya pun segera berpisah. Malam telah semakin larut, para prajurit Mataram yang bertugas pun semakin siaga, beberapa kelompok prajurit berkuda telah meronda mengelilingi kota, mereka menjaga setiap jengkal wilayah, tlatah Mataram adalah harapan bagi mereka yang hidup diatasnya. Mataram telah menjadi sunyi dan sebagian besar rakyat Mataram pun telah tertidur dengan pulasnya. tetapi tidak demikian yang terjadi pada Kyai Gringsing, sosok tua itu telah duduk di lantai di dalam biliknya. Banyak persoalan yang telah membelit benaknya, tugas yang diembannya ternyata tidaklah ringan,” Apakah aku akan sanggup melaksanakannya ?” pertanyaan yang selalu mengganggunya, sebuah pertanyaan yang akan terjawab seiring waktu berjalan. Orang tua itu telah menundukkan kepalanya, ia mencoba untuk mengurai persoalan yang diberikan oleh Sunan Muria kepadanya,” Ini adalah kesempatan terakhir bagiku, umurku sudah terlalu banyak, aku akan berbuat sebaik - baiknya sesuai pesan Kanjeng Sunan” Dipandanginya seluruh dinding bilik itu, juga tempat rebahan di depannya, ia pun segera tersenyum kecil, baginya berada didalam bilik di Kepatihan yang bagus dan rapi itu adalah merupakan sebuah keanehan, sejatinya bahwa dia berhak mendapatkan seperti apa yang didapatkan para Pangeran dalam hidup kesehariannya tetapi justru semua kemewahan itu telah ia tinggalkan, rasa kecewa yang di mulai dari kehidupan kakeknya serta kekecewaan yang dirasakannya sendiri terhadap lingkungan disekitarnya saat itu terus menderanya, sampai suatu saat benar - benar telah melemparkannya pada dunianya yang sekarang. Di dalam bilik Kepatihan itulah dia akan memulai menjalankan suatu tugas yang teramat berat, sebuah kewajiban diakhir perjalanan hidupnya. “Kyai Gringsing telah aku kuburkan di lereng merapi itu,” terdengar desahnya perlahan, orang tua itu merasa bahwa tidak mungkin lagi dia menggunakan nama itu, dengan nama itu tentu orang akan berbondong - bondong datang menemuinya untuk berobat, sedangkan saat ini seolah dirinya tidak mempunyai waktu yang banyak, kewajiban baru telah menunggunya. “Sebaiknya aku memenuhi saran Kanjeng Sunan Muria, untuk menggunakan namaku sendiri,” Seberkas keraguan telah melintas di hatinya. Pamungkas adalah nama yang telah dilupakan orang. “Hem.. Panembahan Pamungkas, sebuah nama yang terlalu baik dan sekaligus berat bagiku” Wajah tua itu sempat menegang sesaat, ternyata selama kepergiannya ke bang kulon, putra Sunan Kalijaga itu bersama para santrinya telah membangun padepokan kecil ditepi sungai di kaki Merapi. Terngiang pesan Kanjeng Sunan Muria lewat pameling,” Raden, sebelum ke Muria sebaiknya berdiamlah dahulu di sebuah padepokan yang aku beri nama Ngadem di kaki gunung Merapi, ada beberapa santri Muria yang telah menunggumu disana, pergunakanlah nama Panembahan Pamungkas untuk tetenger Raden dan aku akan mengunjungi Raden seperti saat yang telah aku janjikan.” Sebuah perhatian yang terlampau berlebihan, mata tua itu telah memandangi kedua belah tangannya, tanpa sadar pandangan itu telah berhenti pada sebuah gambar ciri perguruan kakeknya, sebuah lukisan yang melekat pada pergelangan tangannya.” Hem..apakah masih ada orang yang mengingat gambar seperti ini ?” Orang tua itu sama sekali tidak mengira bahwa ciri perguruan kakeknya telah menuntunnya pada keberadaanya saat ini, sehelai cambuk dengan sebuah cakra bergerigi sepuluh di ujungnya. Kyai Gringsing terlihat menarik nafas dalam - dalam, pikirannyapun segera berpindah kepada seorang putra Sunan Kalijaga, dari Sunan Murialah dia mendapatkan banyak keterangan tentang Mataram saat ini. Menurut Sunan Muria bahwa persoalan yang bakal timbul di Mataram sekarang ini adalah jauh lebih rumit dibandingkan saat - saat berdirinya, meskipun demikian Wali waskita itu tidak akan membiarkan Mataram runtuh, baginya Mataram adalah simbol perjuangannya dalam menyebarkan agama serta keyakinan yang telah dianutnya. “Raden, apapun yang bakal terjadi, Mataram harus tetap diselamatkan, keyakinanku terhadap Mataram telah melebihi keyakinanku terhadap negeri - negeri yang lainnya di Jawadwipa ini dan aku juga berharap banyak pada muridmu, putra Ki Sadewa itu” Kokok ayam telah terdengar bersautan, tetapi orang tua itu belum juga selesai dengan angan - angannya, sesaat orang tua itu telah memejamkan matanya, dalam waktu yang tidak terlalu lama telah ditiliknya kembali sebangsal ilmu dan pengetahuannya,” Semoga pengetahuan yang tak seberapa banyak ini bisa bermanfaat bagi diri sendiri dan lingkungannya.” Orang tua itu segera berdiri takkala mendengar suara adzan dari masjid yang tak jauh dari Kepatihan itu, segera ia menuju ke pakiwan dan selanjutnya kakinya telah melangkah meninggalkan Kepatihan menuju tempat adzan yang tadi telah berkumandang. Di Sangkal Putung, Rudita, Ki Jayaraga dan Sukra telah berjalan - jalan mengelilingi padukuhan induk kademangan Sagkal Puting, ketiga orang itu benar - benar sangat mengagumi keindahan alam yang terhampar luas di daerah kelahiran Swandaru itu, Sukra pun nampak selalu memuji keindahan kademangan itu. “Kyai, aku melihat Sangkal Putung ini saat sekarang telah maju sangat pesat, banyak sekali aku jumpai bagunan rumah yang besar - besar dan kegiatan di pasar juga nampak lebih ramai” kata Rudita “Benar angger Rudita, aku merasakan bahwa Ki Demang yang sudah sepuh itu bersama anakmas Swandaru telah benar - benar berhasil dalam membangun kademangan ini” sahut Ki Jayaraga. “Kyai, selama keberadaanku disini, akan kumanfaatkan untuk belajar pertanian dan apabila aku kembali ke Menoreh maka akan segera aku terapkan ilmu dari Sangkal Putung ini,” kata Sukra sambil memandang wajah Ki Jayaraga. “Bagus sekali Sukra, Menoreh akan berbangga memiliki pemuda sepertimu” “Bukan itu yang kumaksud, Kyai” sahut Sukra, sementara Rudita hanya tersenyum mendengar perbincangan itu. “Aku ingin sawah kita mendapatkan hasil yang lebih bagus lagi Kyai, aku akan tunjukkan kepada kakang Glagah Putih bahwa aku mampu mengolah sawah itu tanpa dia” Sukra telah meneruskan kata - katanya. Kali ini Ki Jayaraga tidak sekedar tersenyum tetapi orang tua itu telah tertawa terkekeh - kekeh, Rudita pun juga tertawa.” Kenapa, semua tertawa ? Aku mengatakan yang sebenarnya , apakah ada yang lucu” kata Sukra sembari memberhentikan langkahnya. “Kata-katamu benar Sukra, tidak ada yang lucu” kata Rudita “Nah, apa alasannya kakang tertawa ?” “Aku tertawa setelah melihat Ki Jayaraga tertawa” jawab Rudita sekenanya dan sambungnya,” Tanyalah kepada Ki Jayaraga, kenapa tertawa ?” Sukra pun telah mengalihkan pandangannya ke arah Ki Jayaraga, katanya” Kenapa Kyai tertawa ?” “Sukra, ternyata dalam kepergianmu yang lumayan jauh ini, kau tidak melupakan nama Glagah Putih” jawab Ki Jayaraga. Sukra nampak menganggukkan kepalanya, baginya seorang Glagah Putih adik sepupu Ki Rangga itu adalah sosok yang menjengkelkan tetapi sekaligus menyenangkan, tiba - tiba sebuah kerinduan telah duduk dan mendekam dihatinya. Sebelum wayah temawon, ketiganya telah kembali ke rumah Ki Swandaru, mereka duduk di sudut pendapa, tidak beberapa lama kemudian nampak seorang perempuan telah menyuguhkan minuman dan jajanan pasar Di pendapa itu hati Rudita benar - benar merasakan kegembiraan, pembicaraan ketiganya sama sekali tidak menyentuh hal - hal yang mencemaskan hatinya, Ki Jayaraga selalu bercerita tentang kesibukannya memperbaiki pematang sawah dan Sukrapun selalu berbicara tentang sawah dan hasil panennya. Keceriaan di kademangan Sangkal Putung itu rupaya juga telah menular hingga di pendapa Kepatihan Mataram, terlihat Ki Juru Martani sedang duduk berhadapan dengan sahabatnya itu, namun Ki Patih Mandaraka itu telah nampak sedikit kebingungan, sedikit keraguan hinggap didadanya,” Bagaimana aku harus memanggilmu, Kyai ?” “Kenapa ?” tanya Kyai Gringsing itu. “Sebenarnyalah aku menjadi bingung, nama Kyai yang sebenarnya telah membuat ku berdebar - debar” jawab Ki Patih sembari tertawa kecil,lalu” Ki Pamungkas serasa kurang pas, Kyai” “Ki Juru, panggil saja aku dengan Pamungkas, itu sudah lebih dari cukup” kata Kyai Gringsing perlahan. “Kyai Pamungkas, juga kurang cocok, aku akan memanggilmu Panembahan Pamungkas,Kyai” kata Ki Patih Mandaraka Mendengar itu, Kyai Gringsing terlihat tersenyum malu, katanya” Ki Patih, rasanya terlalu berat aku menggunakan gelar dan nama itu.” Terdengar Ki Patih tertawa perlahan, lalu katanya,” Panembahan, dengarlah, saat tengah malam seseorang telah berbisik kepadaku lewat pameling menanyakan akan keberadaan Kyai Gringsing dan akupun telah menjawabnya, bahwa saat ini Kyai tengah berada di Kepatihan dan rupanya bisikan itu mengatakan, Kyai Gringsing sudah tidak ada lagi dan yang datang ke Kepatihan itu sebenarnyalah adalah Panembahan Pamungkas dari padepokan Ngadem di kaki Merapi, pameling Sunan Murialah yang telah mengatakan semuanya padaku.” Kyai Gringsing yang sekarang bernama Panembahan Pamungkas itu tertawa meski tidak terlalu keras, lalu katanya,” Rupanya Kanjeng Sunan Muria telah mengkhawatirkan diriku, Ki Patih,” “Kenapa ? Apakah Sunan Muria tidak tahu akan kemampuan seorang Panembahan Pamungkas ?” tanya Ki Patih yang diiringi derai tawa. “Dengarlah baik - baik Ki Juru martani, adakah ilmu yang bisa melawan jika seseorang telah ditolak saat bertamu ? Nah ternyata Sunan Muria telah memperhitungkan itu” kata Panembahan Pamungkas. Mereka berdua ternyata sudah lupa akan usia mereka, keduanya telah tertawa terkekeh - kekeh sampai tubuh keduanya berguncang - guncang. Ternyata Ki Juru Martani tak mau kalah, disela - sela derai tawanya, telah terselip kata - katanya,” Ada .. ada Panembahan, aku akan terapkan ajian Tebal Wajah, bagaimana ?” Suasana di pendapa Kepatihan itu benar - benar sangat menyenangkan, beberapa abdi dalam pun telah tersenyum mendengarkan gurauan kedua orang tua itu. Bumbung 7 Mohon maaf atas permintaan Ki Agus Malindo yang menuliskan Mendung di Lereng Merapi, maka unggahan naskah di blog ini kami hentikan, dan yang sudah diunggah kami “pending” sampai waktu yang tidak ditentukan.

Sementaracuaca di kawasan Merapi terpantau berawan dan mendung. Angin bertiup lemah hingga sedang ke arah timur dan barat. Suhu udara 14-22 °C, kelembaban udara 77-98 %, dan tekanan udara 567-759 mmHg. Menimbang hasil pengamatan tersebut, tingkat aktivitas Gunung Merapi hingga saat ini masih berada di Level III atau Siaga.

Dan pada hari yang sudah ditetapkan berangkatlah pasangan muda itu menuju Sangkal Putung dan baru kemudian menuju ke Jati Anom. Sepasang suami itu telah meninggalkan Tanah perdikan Menoreh, kuda mereka berlari tidak begitu cepat, mereka akan menempuh perjalanan yang agak jauh dan mereka tampak bergembira dan tugas itu dirasakannya adalah tugas yang sangat menyenangkan. "Kakang Agung Sedayu tentu sudah memikirkan pengganti kita Rara" "Apa maksudmu Kakang ?" sahut Rara Wulan. "Maksudku tugas – tugas kita di barak pasukan khusus Rara" Rara Wulan menganggukkan kepalanya. Panas matahari telah menyengat tubuh mereka dan debu juga telah menempel dikulit pasangan itu. Sementara itu di Sangkal Putung, wajah kegembiraan terpancar pada setiap penduduknya, mereka mendapatkan panen yang berlimpah dan merekapun menjalankan perdagangan dengan aman, jarang sekali ada penyamun atau perampok yang memasuki kademangan itu, mereka tahu siapa Ki Swandaru Geni putra Ki Demang itu. Ketentraman dan ketenangan terlihat dimana – mana Jika saja ada perampok yang berani masuk Sangkal Putung maka biasanya yang tersisa adalah namanya saja, sedangkan raganya tentu sudah terbenam di tanah yang subur itu. Nampak seorang perempuan berambut panjang terurai sedang bermain dengan anak kecil di halaman rumah Swandaru Geni. Terdengar suara berat dari samping rumah, " Swatantra janganlah terlalu manja" Anak kecil itu terus menggoda ibunya seolah tak menghiraukan suara ayahnya. "Biarlah kakang, bukankah dulu sewantu kecil kaupun juga seperti itu" sahut Pandan Wangi. "Kau jangan terlalu memanjakannya Wangi, jika terlalu manja maka jika sudah besar dia akan menyusahkan kita, menjadi anak yang cengeng" kata Swndaru meyakinkan istrinya. "Ah .. kakang, jangan berkata begitu" "Ayo, Swatantra kita masuk, ayahmu agaknya hari ini kurang kurang sesaji, dari pagi marah terus" kata Pandan Wangi seraya mengajak anaknya masuk ke dalam rumah induk Kademangan Sangkal Putung. Swandaru yang bertubuh gemuk itu mengerutkan dahinya, nampaknya dia kurang jelas mendengar perkataan istrinya itu, terlihat pipinya yang tambun itu bergerak gerak. Segera dilangkahkan kakinya menuju pos perodaan terdekat, ditemuinya para pengawal dan segera membicarakan kesenangan barunya yakni memelihara kuda dan seperti biasanya setelah bicara banyak maka segera ia menguap dan membaringkan badannya yang besar itu, gardu perodaan itu seketika menjadi sempit. Nampaknya sore itu akan ada orang yang bernasib kurang mujur. Keributan di Pasar pagi tadi yang nampaknya sudah selesai ternyata masih berlanjut, bahkan seorang nampak penjual kain itu telah datang ke rumah seorang gadis yang bernama Sridewi ditemani oleh seorang yang berbadan tidak terlalu tinggi tetapi kekar dan mempunyai kumis melintang. "Sridewi, segera bayarlah semua kerugianku, akibat perbuatanmu seluruh barang jualanku menjadi tidak laku" teriak seorang perempuan didepan pintu. "Ayo, cepat ganti" teriak perempuan penjual kain itu. Nampak dari dalam rumah, seorang lelaki tua keluar dan berkata," Ada apa Nyai ? "Akibat perbuatan anakmu aku telah menjadi rugi" "Bukankan tadi aku sudah memberikan uang pengganti saat Dewi secara tidak sengaja menjatuhkan kain daganganmu, kain itu tidak kotor apalagi rusak Nyi ?" kata ayah Sridewi itu. "Tetapi kedaiku menjadi sepi karena itu" "Tentu tidak karena Sridewi Nyi" "Diam kau tua bangka ! sekarang bayarlah kerugianku atau aku akan mengambilnya sendiri di dalam rumahmu." kata penjual kain itu lantang. Ternyata keributan itu sampai ketelinga para pengawal kademangan segeralah Ki Truno sebagai pimpinan kelompok kecil pengawal itu melapor pada pimpinan mereka. Meluncurlah Ki Swandaru diiringi beberapa pengawalnya, dengan naik kuda jantan berwarna gelap menuju ke tempat yang ditunjukkan pengawalnya, dia telah berhenti di muka rumah Sridewi itu. Setelah turun dari kudanya," Ada apa ini, Ki Sentanu ?" tanya Swndaru kepada lelaki tua yang ternyata adalah ayahnya Sridewi. "Anakmas Swandaru, tadi pagi kami telah kepasar untuk membeli kain di kedai nyi Nuriah ini tetapi tanpa sengaja Sridewi telah menjatuhkan kain dagangan yang lainnya, kami sudah meletakkan kain itu pada tempatnya semula, tetapi nyi Nuriah ini marah – marah dan kami diminta membayar kerugian akibat kain yang terjatuh itu dan kami telah membayarkannya, uang kami telah berkurang dan tidak cukup lagi untuk membeli kain" Jelas ki Sentanu kepada Swandaru. "Apakah demikian kejadiannya nyi ? tanya putra Ki Demang Sangkal Putung itu. "Benar Ki Swandaru, tetapi akibat kejadian itu aku menjadi rugi sebab setelah itu tidak ada pembeli yang mampir di kedaiku" jawab Nyi Nuriah. "Ah . tentu bukan karena Sridewi nyi" desis Swandaru. "He ! Lalu karena apa orang gendut ?" sahut orang yang pendek kekar di samping nyi Nuriah itu. "Siapa kau ki sanak ?" tanya Swandaru. "Aku adalah suruhannya nyi Nuriah, kau mau apa ?" Swandaru tertegun mendengar perkataan orang itu, dengan kening yang berkerut ia maju selangkah dan katanya," Kau berkata apa padaku kisanak ?" "He, kau mau apa ?" dengan mata melotot dan bertolak pinggang orang itu berkata setengah berteriak kepada Swandaru. Tanpa menjawab pertanyaan orang itu ternyata Ki Swandaru Geni telah bergerak. Sebuah tamparan keras telah membentur pipi orang suruhan nyi Nuriah itu. Sementara itu dengan tubuh gemetar tampak nyi Nuriah akan berkata sesuatu tetapi mulutnya terbungkam dan badannya terasa gemetaran saat terdengar suara Swandaru membentaknya" Diam kau nyi!" "Setan kuburan" umpat orang suruhan nyi Nuriah itu yang ternyata bernama Suromurni sambil meraba pipinya yang memerah. "Kau mau apa ?" tanya Swandaru, "Gila, aku akan mematahkan lehermu" teriak Suromurni, dengan mata merah segera ia melangkah maju sambil menjulurkan tangannya. "Berhenti atau aku akan menghajarmu" teriak Swandaru Suromurni tak menghiraukannya, dengan sepenuh kekuatan dia meloncat menerkam leher Swandaru. Melihat gerakan itu, segera Swandaru menggeser tubuhnya kesamping kanan dengan cepat tangan kanannya menghantam lambung Suromurni, akibatnya tubuh pendek itu terlempar kesamping dan jatuh berguling – guling. "Setan kuburan, aku tidak akan mematahkan lehermu tapi aku akan membunuhmu, orang gila" teriak Suromurni dengan penuh kemarahan. Segera ia berlari dan menyerang Swandaru lagi, tangannya mengepal memukul kepala dan kakinya tampak menendang perut. Dengan gerakan yang sangat sederhana Swandaru bergeser kesamping kiri, merasa tidak mengenai sasaran, segera kaki Suromurni itu bergerak melingkar mengejar lambung lawannya. Sebuah serangan yang menurut Swandaru sangat tidak berarti apa – apa, dengan satu gerakan egos kaki kanan mundur setengah lingkaran kebelakang, dia sudah terbebas dari serangan itu. Terdengar Suromurni menggeram marah, segera ia mundur beberapa langkah, terlihat wajah Swandaru sedikit menegang. Dengan berteriak marah sambil berlari nampak Suromurni melancarkan serangan dengan satu tendangan jontrot, satu kaki kanannya melayang menghantam arah dada lawannya. Kali ini Swandaru tidak menghindar tetapi justru kaki lawannya itu di sambutnya dengan sebuah pukulan keras, terjadilah benturan yang tidak seimbang, tidak berhenti sampai disitu, sebuah pukulan berikutnya telah menghantam dada Suromurni. Sekali lagi tubuh itu jatuh dan berguling ditanah yang berdebu di halaman rumah Ki Sentanu. Ki Sentanu melihat Suromurni terjatuh dengan dada yang berdebar – debar, perasaan khawatir merayap didadanya, takut setelah itu orang suruhan nyi Nuriah itu akan melampiaskan amarah kepadanya. Sementara badan nyi Nuriah semakin lemas melihat kejadian itu, pedagang kain itu menyadari apa yang akan terjadi setelah peristiwa ini, pastilah Swandaru akan menghukumnya sehingga dia tidak bisa berjualan di pasar lagi, perasaan menyesal telah hadir didadanya, tetapi semuanya sudah terlambat. Melihat lawannya terjatuh maka dengan loncatan kecil Swandaru telah menjangkau baju lawannya dengan tangan kanannya dan segera mencekeramnya. "Ora waras !, He ! Apakah kau masih melawan ?" geramnya. Suromurni benar- benar telah kehilangan nalarnya, dengan membabi buta tangannya telah menyerang wajah Swandaru. Tak mau wajahnya tersentuh tangan lawan maka dengan sekali hentak, tangan kirinya telah menhantam dada Suromurni akibatnya terlihat tubuh itu terdorong kebelakang dan jatuh menelungkup mencium bumi, Suromurni telah pingsan. Pengawal kademangan itu segera menarik nafas, setelah melihat akhir perkelahian itu. "Ki Sentanu sekarang semuanya sudah selesai, laporlah kepada pengawal bila engkau beserta anakmu mengalami kesulitan lagi karena pokal orang- orang ini," kata Swandaru. Selesai bicara kepada ayah Sridewi segera Swandaru mendekati Nyi Nuriah, katanya" Apa kau tahu akibat perbuatanmu ini nyi ? Jangan kau semena – mena kepada orang lain, jangan kau ulangi perbuatan seperti ini lagi, bawa tubuh Suromurni dan mulai besok sampai satu beberapa hari kedepan, kau tidak boleh kepasar lagi sampai Ki Jagabaya memanggilmu, apa kau mengerti nyi Nuriah ?" "Bagaimana aku mencari nafkah bagi keluargaku Ki Swandaru, aku mohon ampun ?" terdengar nyi Nuriah merengek. Terlihat Ki Swandaru Geni terdiam, dipandanginya nyi Nuriah. "Sekarang kau merengek sedangkan tadi kau membentak Ki Sentanu, bagaimana kalau seandainya aku dan pengawal kademangan ini tidak datang ? He !, Apa katamu Nuriah" bentak Swandaru. "Ampun Ki Swandaru" gumam nyi Nuriah sambil menangis. Kepada pengawalnya, pemimpin Sangkal Putung telah memerintahkan supaya menyelesaikan sisa permasalahan itu dan secepatnya menyuruh nyi Nuriah dan Suromurni pergi bila sudah sadarkan diri. Sementara itu Swandaru dengan gagahnya telah memacu kuda jantannya yang berwarna gelap kembali ke induk Kademangan. "Swandaru, nampaknya kau terlalu sibuk akhir – akhir ini" kata Ki Demang sambil mengelus – elus jenggotnya yang sudah berwarna putih, ketika mereka berdua sedang duduk di pendapa saat wayah sepi bocah. "Ya, ayah Sangkal Putung harus menjadi Kademangan yang besar dan makmur" kata Swandaru pendek. Ki Demang mengerutkan keningnya mendengar jawaban anak sulungnya itu, tidak seperti biasanya. "Mengapa ?" desah Ki Demang dalam hatinya. "Swandaru, saat ini kau adalah pemimpin pengawal Sangkal Putung dan pada saat tertentu kau mewakili aku mengurusi seluruh masalah Kademangan ini, tetapi ketahuilah anakku bahwa kau saat ini belum menjadi Demang Sangkal Putung selama aku masih hidup" kata Ki Demang, sejenak ia berdiam diri menunggu tanggapan anaknya. Swandaru masih berdiam diri, ternyata pikirannya tidak tertuju kepada pembicaraan ayahnya. Tidak segera mendapat jawaban dari anaknya, tampak Ki demang merenung, keningnya berkerut dalam. "Apakah yang kau pikirkan Swandaru ?" tanya ayahnya yang sekan tahu apa yang dipikirkan oleh Swandaru. "Ayah aku sekarang ini sebenarnya sedang memikirkan Kitab Guru yang masih berada di tangan kakang Agung Sedayu" jawab Swandaru sambil menatap tiang soko guru di pendopo itu. "Bukankan kakang bisa meminjamnya dari kakang Agung Sedayu ?" terdengar suara lembut dari dari ruang dalam. Ki Demang segera menoleh kearah suara itu," Kau belum tidur Pandan Wangi, apakah Swatantra sudah tidur ?" "Sudah ayah" jawab Pandan Wangi sambil melangkah mendekati suaminya dan segera duduk disampingnya, sambil memijit – mijit tangan Swandaru Geni. "Kau benar Wangi, rasa – rasanya ada yang mendesakku untuk segera meningkatkan ilmuku" "Kau dapat meningkatkan ilmumu kapanpun Swandaru, saat siang kau ada diantara pengawal dan malam harinya kau dapat berada disanggar, dua pekerjaan dapat kau lakukan sekaligus " kata ayahnya. "Seharunya bisa ayah, tetapi kakang Swandaru ini selalu malas bergerak ayah jika malam hari" sahut Pandan Wangi. "Bukankan jika kita banyak bergerak, tubuh kita akan terjaga kesehatannya dan tubuhmu akan cepat menyusut Swandaru" kata Ki Demang. "Benar kakang, jika malam hari kau harus bergerak dan berpindah – pindah tempat supaya tubuhmu berkeringat dan jika kakang tekun, aku yakin ilmu kakang akan mengalami banyak kemajuan," "Apakah kalau malam hari kau sering berlatih, anakku ?" tanya Ki Demang. Kepala Swandaru masih tertunduk dan pikirannya menerawang jauh. Tak terasa malam semakin larut. "He.. Swandaru, apakah kau pada malam hari masih sering bergerak atau berlatih olah kanuragan" kata ayahnya mengejutkannya. "Tentu .. tentu ayah, aku berlatih bersama – sama Pandan Wangi saat Swantantra tidur" jawabnya sekenanya. "Kau berlatih apa saja ?" tanya Ki Demang. "Bermacam – macam ayah, kami berlatih berbagai jurus dengan posisi yang berbeda – beda" kata Swandaru meyakinkan ayahnya. Terlihat Ki Demang mengangguk – anggukkan kepalanya, serta membayangkan anaknya tentu berlatih keras serta tekun, mengembangkan ilmunya, ilmu dari perguruan orang bercambuk. "Baiklah Swandaru suatu saat aku akan melihat cara kalian berlatih bersama, tentu saja menunggu Swatantra tidur supaya tidak mengganggu kita semuanya" kata Ki Demang sambil berdiri dan menekan pinggangnya dan segera dilangkahkan kakinya menuju ke biliknya. Sepeninggal ayahnya, segera terdengar pekik kecil Swandaru, terasa lengannya bak disengat tiga lebah indukan, ternyata Pandan Wangi dengan gemasnya telah mencubit lengan suaminya. "Eh, kenapa kau ini ? Apa salahku ?" tanya Swandaru sambil menyeringai kesakitan. "Kenapa kakang katakan ke ayah, kita selalu latihan bersama waktu malam hari ?" tanya Pandan Wangi. "Kenapa ? Bukankah benar, saat malam harilah aku selalu berlatih" kata Swandaru gusar. "Kenapa kakang katakan kita, tentu artinya aku dan kakang, apalagi dilakukan setelah anak kita tertidur, dengan macam – macam jurus dengan berbagai posisi, latihan apa itu kakang, coba jelaskan ?" kata Pandan Wangi pelan dan dipandanginya suaminya itu dengan mata melotot. "Suatu saat ayah akan melihat latihan kita" sambungnya. Kening Swandaru tampak berkerut, katanya" Apakah tadi aku mengatakan demikian pada ayah ?" "Iya, kakang mengatakannya dengan amat sangat yakin" Sesaat kemudian meledaklah tawa Swandaru memenuhi pendapa rumahnya, tubuhnya terguncang dan pipinya nampak menggelembung, sementara wajah Pandan Wangi yang segar itu nampak memerah seperti buah jambu air yang sudah masak di pohon. Sembari tertawa Swandarupun berkata," Baiklah nanti aku akan melarang ayah untuk melihat latihan khusus kita ." Mendengar perkataan suaminya, segera cubitan Pandan Wangi telah mendarat untuk kedua kalinya di lengan Swandaru. "Ampun, ampun Wangi, maaf aku tidak sengaja mengatakannya" terdengar Swandaru merengek pelan. "Awas kau kakang !" terdengar Pandan Wangi menggerutu, wajahnya cemberut dan terlihat kesal. Meskipun tidak terlalu terang lagi, nyala ublik di empat sudut pendapa itu masih setia menemani mereka, keduanya membicarakan tentang perkembangan buah hati mereka, Swatantra. Malampun semakin larut, bulan terlihat bulat menerangi alam, terdengar sayup – sayup suara angin menerpa pintu regol yang tidak tertutup rapat, tempat rondapun telah dipenuhi anak – anak muda yang menjalankan tugasnya, terlihat juga sebagian pengawal kademangan telah nganglang menjelajahi padukuhan – padukuhan yang termasuk wilayah kademangan Sangkal Putung. Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulanpun sudah mendekati padukuhan induk kademangan, kuda merekapun tampak berlari tidak terlalu kencang. "Dadaku berdebar – debar Wulan" terdengar suara Glagah Putih "Kenapa kakang ?" tanya Rara Wulan sembari memperlambat laju kudanya. "Aku kurang mengerti, setiap kali akan bertemu dengan kakang Swandaru dadaku serasa berdebar-debar." "Sudahlah, kenangan masala lalu yang sebaiknya kakang hapus, perlakuan kakang Swandaru yang selalu merendahkan kakang Agung Sedayu mungkin sangat membekas di dada kakang," Tidak segera menyahut perkataan istrinya, pikirannya melambung jauh mengenang masa – masa lalunya bersama kakak sepupunya serta Kyai Gringsing juga ayahnya, saat pertama membangun Padepokan kecil di Jati Anom itu. "Hem .., lama sekali aku tidak bertemu, semoga kakang Swandaru tidak berlaku seperti dahulu " desahnya. Kuda merekapun terus bergerak lambat. "Apakah kita akan langsung menuju ke rumah Kakangmbok Pandan Wangi, kakang ? tanya istrinya Tampak Galagah Putih menganggukkan kepalanya, katanya" Ayolah Rara, kita langsung menuju rumah Ki Swandaru" bersamaan itu segera di hentakannya kendali kudanya, kedua kuda itu telah lari berderap meskipun tidak terlalu kencang. Saat mendekati gardu perondaan segeralah di perlambat lari kudanya bahkan Glagah Putih dan Rara Wulan telah meloncat turun sambil menyapa anak muda yang berdiri di muka gardu itu. "Selamat malam kisanak" terdengar suara Glagah Putih menyapa. "Selamat malam, siapakah kisanak ini ?" tanya anak muda itu. "Glagah Putih dan ini istriku Rara Wulan ki sanak, kami datang dari Tanah Perdikan Menoreh dan ingin betemu dengan Ki Swandaru," "Apakah harus malam ini Ki sanak, sekarang sudah larut malam, kemungkinan Ki Swandaru tentu sudah tidur" anak muda itu berkata dengan ramahnya. Di pandanginya wajah anak muda itu, merupakan suatu kewajaran bila anak muda itu tidak mengenalinya, tetapi iapun tidak ingin menundanya sampai esok pagi, menunggu di banjar padukuhan bersama istrinya, lalu katanya," mohon maaf ki sanak, sebenarnyalah aku adalah sepupu kakang Agung Sedayu yang tinggal di Menoreh suami dari adik Ki Swandaru" Bak disengat raja kalajengking di tengkuknya, saat mendengar nama Agung Sedayu telah disebut pasangan suami istri itu, segera pemuda itu membungkuk hormat." Maaf kisanak aku belum mengenalmu" Pembicaraan itu ternyata mengundang anak muda yang lainnya segera mereka berkerumun di sekitar Glagah Putih dan Rara Wulan. "He , anak tinggi kurus, kaukah itu" terdengar suara lantang dari belakang kerumunan anak – anak muda itu, nampak pemuda berbadan bulat seperti telor bebek dengan tergesa – gesa menghampiri Glagah Putih dan segera mengguncang pundaknya. Glagah Putihpun segera tertawa, sembari berucap," Rupaya kau kakang Demung, he, kenapa badanmu seperti ini ? Apakah kau telah menelan angin puting beliung itu seluruhnya ?" Mendengar kelakar Glagah Putih, meledaklah tawa seluruh pemuda yang berdiri di gardu ronda itu," Kakang Glagah Putih dengarlah, kemarin anginnya biyung Sumpini juga telah di telannya" sela anak muda lainnya, mendengar celoteh itu Demung dan Glagah Putihpun tertawa terbahak bahak, sementara Rara Wulan nampak tersenyum. "Ayolah, kuantar ke rumah Ki Swandaru Geni, aku baru saja dari pendapa rumahnya" kata Demung sambil menarik tangan sahabatnya itu. Setelah berpamitan maka Glagah Putih dan Rara Wulanpun segera menuntun kudanya mengikuti Demung yang berjalan didepan. Kedatangan tamu yang tak diundang tetapi membawa berkah bagi seluruh keluarga Ki Swandaru di Sangkal Putung. Airmata telah menetes di pipi Pandan Wang dan Rara Wulan, mereka berpelukan seakan tak mau dilepaskan, rasa rindu dan keharuan telah mencengkam jantung kedua perempuan itu. Swandaru juga nampak mengguncang bahu Glagah Putih, katanya," Kau menjadi semakin dewasa Glagah Putih, badanmu semakin keras, tentu ilmumu sekarang sudah sundul wuwungan dan tentu kau melaju dengan pesat meninggalkan kami semua di Sangkal Putung," Dada Glagah Putih terasa berdesir mendengar ucapan adik seperguruan kakak sepupunya itu. "He, kenapa kau terdiam" gurau Swandaru "Seolah aku bermimpi kakang, sudah lama aku tak berkunjung ke Sangkal Putung" jawab Glahag Putih sekenanya. Pandan Wangipun segera menghampiri Glagah Putih, seraya berkata," Kau semakin gagah Glagah Putih dan semakin tampan, tidak rugi Rara Wulan telah memilihmu," "Ah, mbokayu mulai mengejek aku" balas Glagah Putih, Rara wulan pun tersenyum sipu dan katanya," Jangan katakan itu mbokayu, nanti kakang Glagah Putih akan segera berlari sipat kuping mencari kaca pengilon" Terdengan ledakan tawa Swandaru, sementara Pandan Wangi dan Rara Wulan tertawa kcil, hanya Glagah Putih yang memasang muka kelam. "Rara kau pintar melihat dan memanfaatkan keadaan, seandainya kakang Swandaru dan kangmbok Pandan Wangi tidak disini, tentu sudah aku pluntir hidungmu" geram Glagah Putih. Ketiganya tertawa, bahkan Demung yang sedari tadi diam ikut tertawa pula, tetapi dihadapan Ki Swandaru dia tidak berani mengejek temannya itu. "Demung, kau boleh meninggalkan kami, kembalilah ke gardu ronda, biarlah aku yang mengurus tamu – tamu ini" terdengar suara Ki Swandaru kepada Demung. "Baiklah Ki Swandaru, Demung mohon diri" kata Demung dan segera melangkahkan kakinya kembali menuju ke gardu ronda. Malam itu suasana rumah Ki Swandaru telah menjadi sedikit sibuk, dapur yang tadinya lengang sudah terlihat beberapa wanita yang mempersiapkan hidangan, bahkan Ki demangpun telah terbangun dari mimpinya melihat Swandaru berlatih bersama Pandan Wangi. Glagah Putih dan Rara Wulan pun menyambut kehadiran Ki Demang dengan hormat, layaknya menyambut orang tua yang menjadi ayah mereka. Pembicaraanpun berlangsung hangat meskipun udara malam yang dingin telah menyentuh tubuh mereka. "Baiklah Glagah Putih, sekarang ceritakan apa yang kau bawa dari Menoreh," kata Swandaru. "Bagaimana kesehatan ayah Argapati di Menoreh ? tanya Pandan Wangi pula. Glagah Putih dan Rara Wulan segera membetulkan duduknya, terlihat mereka duduk bergeser merapat. "Kakang Swandaru sekeluarga biarlah aku menyampaikan dulu salam dari seluruh keluarga di Menoreh untuk keluarga di Sangkal Putung" kata Glagah Putih memulai pembicaraan. Mereka yang ada di pendapa itu menganggukkan kepalanya. Selanjutnya Glagah Putih mulai bercerita tentang keadaan Menoreh saat kedatangan orang dari Argopuro yang menyebut namanya sebagai Ki Bondan Ketapang sampai dengan kejadian Gumuk Kembar, perang tanding antara kakak sepupunya melawan orang dari Argopuro itu sampai kehadiran seseorang berjubah lurik dan memakai topeng kayu. Pendapa itu terasa hening, dinginnya udara malam tak dirasakan oleh mereka, jantung orang yang mendengarkan cerita itu berdegub kencang dan merekapun segera membayangkan apa yang terjadi di Menoreh, bahkan Swandaru segera beringsut mendekat ke Glagah Putih, tak ingin ketinggalan Pandan Wangipun segera bergeser kearah Rara Wulan sambil mengatupkan bibirnya yang basah oleh air matanya itu. Glagah Putih berhenti sejenak, ditariknya nafasnya dalam – dalam, seolah hendak menata perasaannya yang telah bergetar, hatinya telah bergejolak mengenang peristiwa Gumuk Kembar itu, bukan karena perang tanding kakak sepupunya melainkan kenangan hadirnya orang tua yang sangat dihormatinya itu. "Ayo teruskan Glagah Putih" pinta Pandan Wangi dengan nada mendesak. Tak terasa tubuhnya telah keringat, dia diam sejenak, seolah tak menghiraukan permintaan mbokayunya. "Apakah kau sakit ngger, istirahatlah dulu, besokpun tidak apa – apa ceritamu kau lanjutkan, kami tentu merasa senang mendengarnya." ujar Ki Demang. Sementara itu Rara Wulan memahami keadaan suaminya, tentu suaminya mengalami sesuatu yang menggoncang jiwanya, saat itu ia mendengar dari ki Jayaraga bahwa seorang Glagah Putih yang berteman dengan Raden Ranga putra raja Mataram itu telah menangis di pangkuan orang tua bertopeng itu. Sedangkan Swandaru dan Pandan Wangi benar – benar merasakan keanehan melihat putra Ki Widura itu telah mandi keringat. "Kyai Gringsing telah hadir diantara kami kakang" desis Glagah Putih perlahan sambil menahan gejolak hatinya, terlihat anak muda mengepalkan tangannya kuat – kuat seakan hendak meremas batu hitam di halaman rumah ki Swandaru. Bagai petir menyambar rumah Swandaru, ledakan sangat dahyat telah mengguncang seluruh dada yang mendengarkannya, jantung mereka seakan mau lepas dari tangkainya, mata ketiga orang Sangkal putung itu terasa berkunang – kunang, mereka telah hilang penguasaan dirinya. Bibir Swandaru terasa bergetar tetapi tak satu patah katapun keluar dari mulutnya. "Apa aku tidak salah dengar ngger ? Kyai Gringsing hadir di Gumuk Kembar itu" terdengar Ki Demang berkata memecah ketegangan itu. "Benar Ki Demang" jawab Glagah Putih singkat. "Guru telah hadir kembali" terdengar gumam Swandaru perlahan seakan ditujukan kepada dirinya sendiri tetapi semua yang ada telah mendengar gumam itu. "Ayah dan semua yang ada disini, marilah kita panjatkan syukur kepada Junjungan kita dan kepada Pencipta alam semesta ini, bahwa guru telah kembali dan hadir diantara kita, meskipun selama ini sebenarnya guru takkan pernah hilang dari hati kita" kata Swandaru. Sementara itu Pandan Wangi telah tertunduk, air matanya yang telah mengering kini membasahi pipinya lagi, tak ada kekuatan untuk menahan air mata itu, baginya orang tua itu telah menyelematkan dirinya dari kehancuran dan telah mengantarkan dirinya sampai pada kehidupan yang sekarang, kehidupan di Sangkal Putung bersama suami dan anaknya. "Bagaimana kesehatan guru,Glagah Putih ?" tanya Swandaru tak sabar. "Sehat kakang, bahkan menurut kakang Sedayu Kyai Gringsing justru nampak segar dan nampak muda di usianya, mohon maaf kakang, saat itu aku telah kehilangan pengamatan atas diriku dan sampai terlupa memperhatikan wadag orang bertopeng itu" kata Glagah Putih perlahan. Pandan Wangi benar – benar hanyut pada kenangan masa lalunya saat – saat kehadiran kakaknya Sidanti dengan orang tua yang bernama Ki Tambak Wedi. Di kenangnya pula saat orang tua yang senang berganti nama mengobati luka ayahnya. "Kenapa Kyai Gringsing memakai jubah lurik dan bertopeng, ngger ?" tanya Ki Demang. Sesaat kedua orang dari menoreh itu kebingungan menjawab pertanyaan Ki Demang. "Tentu guru mempunyai alasan sendiri ayah, apakah ayah ingat sewaktu pertama kali guru datang ke Sangkal Putung ini ? Guru juga mengenakan topeng" Swandaru mencoba menjelaskan. Mendapat jawaban anaknya, tampak Ki Demang mengerutkan keningnya, dicobanya mengingat –ingat kehadiran Kyai Gringsing saat itu. Tak terasa malam semakin larut, kentongan dengan nada daramuluk telah terdengar dari arah banjar padukuhan, sementara itu Swandaru telah mengetahui dari Glagah Putih bahwa saat ini gurunya sedang melawat ke arah barat, sedangkan Glagah Putih juga tak bisa menyebutkan kapan gurunya akan kembali, tetapi kehadiran gurunya serasa memacu dirinya untuk segera meningkatkan ilmunya dan keinginan segera pergi ke Menoreh semakin besar. Glagah Putih bersama Rara Wulan telah memasuki gandhok yang telah dipersiapkan, segera mereka merebahkan diri, hari itu mereka menempuh perjalanan cukup panjang meskipun dengan berkuda. Pagi yang cerah telah datang memulai hari baru, Sepasang suami istri dari Menoreh itu benar – benar menikmati suasana Sangkal Putung yang gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo. Swandaru telah banyak berubah, pelajaran hidupnya telah menuntun pada ketetapan yang santun urip bebrayan nan agung. Seorang anak muda yang dulunya seorang penakut dan pengecut telah membuka mata hatinya, meskipun tak menghilangkan sifat dan kepribadian seluruhnya namun kini ia telah menjadi Swandaru yang lain dari pada yang dulu. Banyak orang tidak percaya akan perubahannya pada dirinya, sebab sifatnya yang meledak – ledak kadang – kadang masih nampak dalam kesehariannya, tetapi nampaknya Pandan Wangi terus mengingatkannnya siang dan malam tanpa merasa jemu, sebenarnyalah bahwa seorang Pandan Wangi adalah perempuan yang taat dan berbakti pada suaminya. Pada sore harinya setelah berpamitan kepada semua keluarga maka sepasang suami istri dari Menoreh itu segera meninggalkan Sangkal Putung menuju Jati Anom, menuju sebuah padepokan kecil yang dihuni oleh Ki Widura beserta para Cantriknya. Kepada pasangan muda dari menoreh itu, Swandaru dan Pandan Wangi telah berjanji bahwa pada hari kedua mereka akan menyusul ke Jati Anom dan selanjutnya meneruskan perjalanan ke Menoreh bersama – sama. Sebuah perjalanan yang tidak terlalu jauh antara Sangkal Putung ke Jati Anom sebenarnya dapat ditempuh lebih cepat tetapi sepasang suami istri itu tidak terlalu tergesa – gesa, mereka benar - benar menikmati perjalanannya, bahkan mereka sempat berhenti di tempat yang agak tinggi, keduanya menikmati pemandangan sawah yang hijau menghampar sangat luas. "Kakang kecemasanmu sama sekali tidak terbukti, nampaknya kakang Swandaru telah banyak berubah" kata Rara Wulan memulai pembicaraan. "Hatiku juga mengatakan demkian Rara, semoga semuanya berubah seiring dengan perubahan kakang Swandaru" sahut Glagah Putih. "Apa maksudnya kakang ?" "Pandangannya terhadap Kakang Sedayu, juga bisa menjaga perasaan mbokayu Pandan Wangi dan yang terpenting adalah kakang Swandaru nantinya bisa menyebarkan rasa tentram di hati rakyatnya, seperti yang dilakukan oleh Ki Gede Menoreh." "Kenapa selama ini orang selalu menggambarkan seorang Swandaru Geni adalah seorang yang angkuh, sombong dan sifat - sifat kurang terpuji lainnya, kakang" "Saat itu memang demikian adanya Rara, akupun merasakan dan mengalaminya bahkan Raden Rangga sekalipun, tetapi sekarang sudah banyak berubah. Kalau ada orang yang bercerita tentang keburukan yang melekat pada kakang Swandaru maka nampaknya orang itu tidak punya cerita lainnya, Rara." "Benar kakang, bukankah umur sangat berpengaruh terhadap kepribadian seseorang ?" "Itulah yang kumaksudkan Rara, mengapa kita selalu sulit menerima perubahan pada diri seseorang ? Apalagi perubahan yang menuju kebaikan dan sangat mengherankan bila seseorang menyenangi keburukan yang menimpa orang lain, orang seperti itu bisa jadi lebih angkuh dari kakang Swandaru sendiri, apakah tidak punya cerita lainya ?" kata Glagah Putih tenang. "Kakang sebentar lagi kita akan bertemu dengan ayah dan ibu, apa yang akan kita berikan kakang ?" kata Rara Wulan mengalihkan pembicaraan. Glagah Putih tampak merenung, dipandanginya hamparan padi di depannya. "Rara, mana yang menurutmu baik ? Apakah kita akan memberikan kepada mereka sesuatu tetapi sesuatu itu bukan yang seharusnya kita punya ? atau kita tidak memberikan apapun kepada mereka karena memang kita tak punya sesuatu untuk di berikan ?" "Kakang, bukankah kalau kita bisa memberi kepada siapapun berarti ada suatu kebaikan dalam diri kita ?" Terdengar Glagah Putih tertawa perlahan, katanya," Engkau benar Rara, memberi adalah perbuatan yang mulia, tetapi lihatlah dengan seksama asal dan usul sesuatu yang kau berikan itu" Rara Wulan segera tersenyum mendengar keterangan suaminya itu. "Jadi apa yang mau kita berikan kepada ayah dan ibu nanti kakang ?" "Senyum kedamaian, kebahagian kita dan doa, Rara" jawab Glgah Putih mantab. Semilir angin yang mengalir membuat mereka sejenak terbuai oleh angan – angan tentang keserdehanaan hidup yang sejati. Saat ketenangan itu datang, tiba – tiba mereka di kejutkan oleh kedatangan tiga orang laki – laki dengan pakaian serba hitam. "Ini dia kang, sepasang anak muda yang aku ceritakan itu" kata seorang diantara mereka Glagah Putih dan Rara Wulan segera berdiri dan bersiap menghadapi segala sesuatu yang bakal terjadi. "Anak muda, dari mana asalmu ?" tanya seorang yang bermata juling itu kepada Glagah Putih. Setelah menguasai perasaannya segera Glagah Purih merapat mendekati istrinya dengan senyum mengambang telah menatap orang – orang itu. "Kami dari Menoreh, setelah dari Sangkal Putung kami akan melanjutkan perjalanan ke Jati Anom, kisanak" jawab Glagah Putih. "Anak muda, kau dapat dari mana kuda yang besar dan tegar itu, apakah kau mencurinya ?" kata orang bermata juling itu. Rara Wulan segera tanggap bahwa orang – orang itu ternyata tertarik dan menginginkan kuda mereka, dia masih menunggu tanggapan suaminya. Masih tampak tetap tersenyum Glagah Putihpun menjawab," Ki sanak kudaku ini adalah kuda pinjaman dari ki Swandaru sebab kuda yang aku bawa dari Menoreh terlalu letih dan telah aku tinggalkan di Sangkal Putung," "Swandaru ? maksudmu Ki Swandaru anak Demang Sangkal Putung itu ?" "Benar ki sanak" jawab Glagah Putih, Rara Wulanpun mengerti bahwa suaminya ingin menghindari keributan dengan menyebut nama Swandaru maka mereka berharap persoalan akan cepat selesai dan segera melanjutkan perjalanan ke Jati Anom, tetapi rupanya harapan suami istri itu telah hanyut terbawa angin. Tiba – tiba ketiga orang yang berpakaian serba hitam itu tertawa terbahak, setelah puas orang yang bermata julingpun berkata," Sangat kebetulan anak muda, ketahuilah malam hari nanti kami akan memasuki Sangkal Putung dan akan menemui Swandaru, kami akan membunuhnya dan membawa istrinya yang cantik itu" "Sekarang kita akan segera mendapat tunggangan yang baik, kakang" sela seorang yang berdiri disebelah orang yang bermata juling itu. "Betul adi kita mendapat tunggangan yang baik dan mendapat perempuan muda yang baik pula," Suara tertawa menggelegar segera terdengar. " Apakah kau tidak bisa menghormati seorang perempuan, ki sanak ? " terdengar suara Glagah Putih yang telah merubah menjadi berat. " Siapa yang harus di hormati anak muda ? Perempuan harus dinikmati bukan di hormati " suara tertawa yang berkepanjangan segera terdengar. " Kurang ajar ! " Rara Wulan setengah berteriak. Rara Wulan sudah merasa tidak tahan lagi mendengar perkataan ke tiga orang itu, segera saja tangannya terayun deras menyentuh mulut kotor orang yang berdiri paling dekat dengannya itu. Sentuhan yang tidak terlalu keras, namun bagi orang itu sentuhan itu bagai siraman minyak dan segera membakar amarahnya, terasa pedih menyakitkan dan tanpa sadar di pegangi mulutnya dan dua giginya telah tanggal. "Perempuan liar, tak tau diuntung" umpatnya liar Kali ini Glagah Putih yang telah bergerak, bagai burung alap - alap dia telah melompat tangannya segera menggapai mulut orang itu dan kaki kirinya telah membentur dada orang yang bermata juling itu secara bersamaan. Terdengar suara mengaduh dari kedua orang itu, kedua segera terlempar dan jatuh ketanah. Orang yang giginya tanggal dua itu tak segera berdiri sekali lagi dirabanya mulutnya, dua giginya telah terlepas lagi. "Iblis, thethekan, setan" umpatan kasar keluar meluncur deras dari mulutnya. "Aku tidak senang mendengar perkataannmu kisanak, sebaiknya kalian segera pergi dan lupakan kami" geram Glagah Putih. Ketiga orang itu segera bersiap, segera menyadari kesalahannya mereka terlalu menganggap remeh kedua pasangan anak muda itu. "Anak muda sekarang kami sudah tahu siapa kalian sebenarnya, kalian adalah penjahat yang berhati iblis meskipun wajah kalian tampak lembut , bersiaplah, kami akan segera meringkusmu bahkan tak segan kami akan membunuhmu bila kalian melawan" kata orang yang bermata juling itu menebar ancaman. Glagah Putih dan Rara Wulanpun segera mempersiapkan diri, mereka tidak mengira justru pada perjalanan pendek itu, mereka mendapatkan hambatan. Terlihat dua orang telah berhadapan dengan Glagah Putih dan seorang lagi yang giginya tanggal empat telah bersiap menundukkan Rara Wulan. "Aku akan segera menangkapmu cah ayu, mengikatmu dan membawamu kepada sesembahanku" katanya sembari mengulurkan tangannya kearah tubuh Rara Wulan. Tak mau tersentuh tangan kotor itu, Rara Wulan segera mendahului menyerang lawannya, dengan satu lompatan kedepan, tangannya bergerak lurus menggapai kening lawannya sementara kaki kanannya telah mengarah ke perut lawannya. Melihat gerakan cepat perempuan itu, segera orang berbaju hitam itu dengan gugup meloncat mundur beberapa langkah menghindar, melihat hal itu Rara Wulan langsung memburunya, satu tendangan telah terjulur menghantam perut lawannya, orang berbaju hitam itu tidak dapat menghindar lagi, segera ia menurunkan kedua tangannya melindungi perutnya, benturan kekuatan itu telah terjadi, segera saja orang itu terdorong beberapa langkah mundur, gemetar dan rasa ngilu telah menjalari kedua tangannya. "Kaki iblis, dari mana kau dapat kekuatan itu, he !" teriaknya. Rara Wulan hanya diam saja dan berdiri tegak siap menghadapi lawannya. Di lingkaran lainnya Glagah Putih telah bergerak seolah sedang menari dengan cepat dan lugas mengimbangi gerakan dua orang lawannya, saat tangan lawan menyambar kepalanya segera direndahkan tubuhnya dengan satu gerakan sederhana dengan telapak tangan yang merapat disentuhnya lambung lawannya yang terbuka dan dalam waktu yang hampir bersamaan kaki kanannya menyapu kaki lawannya yang lain. Belum menyadari keadaannya, tampak berkelebat tangan kirinya membentur pelipis lawannya yang sedang membungkuk memegangi lambungnya, segera orang itu tampak berputar dan dengan satu lompatan kecil siku kanannya membentur wajah yang sedang berputar itu, tak ampun lagi lawannya segera terpelanting dan jatuh terjerembab. Melihat kawannya mengalami kesulitan maka seorang lagi sambil menggeram telah melompat kedepan sambil menyerang tengkuk Glagah Putih. Menyadari kemungkinan itu Glagah Putih segera membalikan badan dan dibenturnya tangan lawannya itu, terdengar suara gemeretak tangan lawannya, tulangnya telah patah, satu jeritan kesakitan terdengar melengking, lawannya terduduk sambil memegangi tangannya dengan wajah yang meringis kesakitan. "Apakah kalian masih mau melawan ?" geram Glagah Putih. Dua lawannya sudah terduduk dan mengerang kesakitan. Glagah Putihpun segera memandang kearah Rara Wulan. "Aku menyelesaikannya lebih cepat darimu kakang" terdengar suara Rara Wulan. Glagah Putih menarik nafas dalam – dalam dilihatnya lawan Rara Wulan terbaring diam. "Dia hanya pingsan" desis Rara Wulan. Kembali dipandanginya dua orang lawannya yang terduduk itu." Kalian menyerah atau bagaimana ? tanya Glagah Putih. "Kami menyerah anak muda, kami mohon ampun jangan bunuh kami anak muda" terdengar orang bermata juling yang tangannya patah itu. "Seharusnya aku membunuh saja kalian semuanya, he, kau telah mengatakan aku adalah penjahat yang berhati iblis" suara Glagah Putih telah mengejutkan mereka. "Ampun anak muda, aku mohon ampun, berilah kami kesempatan ." "Kesempatan apa ? Kalian adalah orang – orang yang berwatak kasar dan berhati liar yang tak pantas hidup di muka bumi ini" bentak Rara Wulan Kedua orang itu nampak menggigil ketakutan. Mendengar pertanyaan itu kedua orang itupun,menjawab" Kami akan berubah anak muda." "Didepan kami kalian bicara seperti itu, besok kalian akan merampok, memperkosa bahkan membunuh" kata Rara Wulang garang. "Tidak anak muda, kami betul – betul akan berubah, mohon ampun jangan membunuh kami," Terdengar suara orang yang bermata juling itu benar – benar memelas. "Baiklah saat ini, kalian kami ampuni, tetapi di saat lainnya apabila kami mendengar kalian melanggar paugeran hidup, di Sangkal Putung, Jati Anom atau daerah lainnya maka kami akan datang menghukum kalian, tanpa ragu kami akan membunuh kalian, mengerti !" "Baiklah ki sanak kami mengerti" "Siapa kalian sebenarnya ?" tanya Rara Wulan. Keduanya terdiam sejenak, keraguan serta kecemasan jelas membayang diwajah mereka berdua. "Tadi kalian mengatakan punya junjungan, apakah kalian akan ingkar ?" bentak Rara Wulan. "Tidak ...tidak anak muda ? kata orang juling itu terbata – bata. "Cepat katakan, atau kami akan membunuh kalian" "Baiklah anak muda, kami adalah murid – murid dari perguruan Jatirogo, namaku Gemblong anak muda," Kata Gemblong ketakutan. "Dimana letak padepokan perguruanmu ?" "Daerah Penggung anak muda" "Hem...." terdengar Glagah Putih berdesah "Baiklah Gemblong, uruslah temanmu yang pingsan itu dan ingat perkataanku, sekali ini aku telah mengampunimu, tidak untuk kedua kalinya" Kepada Rara Wulan, Glagah Putih berkata," Marilah Rara, segera kita tinggalkan tempat ini." Keduanyapun segera melangkah mendapatkan kuda - kuda mereka dan meneruskan perjalanan ke Jati Anom. Sebuah perjalanan yang tidak jauh lagi. Di tempat lain, wayah sore, Ki Patih Mandaraka tampak jalan mondar- mandir di pendapa Kepatihan sesekali dilihatnya pintu regol kepatihan, kegelisahan telah merambati hatinya, tak lama kemudian telah datang Tumenggung Wirabaya menghampiri Ki Patih, setelah menghaturkan salam, selanjutnya mereka berdua telah masuk ke sentong tengah. "Aku tahu kau tidak terlambat Ki Tumenggeung tetapi rasa – rasanya aku saja yang sangat gelisah menunggu kedatanganmu" Kata Ki Patih Mandaraka membuka pembicaraan. "Mohon ampun Ki Patih, sesuai yang hamba laporkan kemarin, hamba menunggu petunjuk Ki Patih," "Ki Tumenggung Wirabaya, apakah gerakan di bang wetan itu sangat mengkhawatirkan ?" terdengar pertanyaan Ki Patih Mandaraka. "Sampai saat ini tidak Ki Patih tetapi jika dibiarkan mereka akan terus bergerak ke barat dan pada akhirnya akan sampai juga di Mataram ini, apalagi jika mereka berhasil mempengaruhi beberapa kadipaten yang dilewatinya," jawab Ki Temenggung Wirabaya. "Menurutmu, siapakah yang menggerakan semua itu ?" "Menurut keterangan telik sandi, mereka berasal dari Kadipaten Surabaya, gerakan itu dipimpin oleh seorang Tumenggung yang telah rela melepas baju keprajuritannya," Tumenggung Wira baya berhenti sejenak, menunggu tanggapan Ki Patih. "Apakah tujuan mereka dan sampai dimana pergerakan mereka sekarang Ki Tumenggung ?" "Semalam laporan itu mengatakan mereka telah sampai di kademangan Nganjuk perbatasan dengan Kadipaten Madiun Ki Patih," Ki Patih tampak merenung pendengarkan laporan itu, Kadipaten Madiun adalah daerah yang pernah memberontak terhadap Mataram tentu benih – benih kebencian dan luka itu masih ada pada sebagian rakyatnya yang tidak bisa melihat kenyataan yang dihadapinya, sedangkan Panaraga keadaannya kian tidak menentu, setelah dikalahkan oleh Ki Rangga Agung Sedayu dalam perang tanding, Pangeran Jayaraga itu tidak bernafsu lagi untuk menentang Mataram tetapi para bawahannya seolah tidak mempercayainya bahwa seorang Adipati telah di kalahkan hanya oleh seorang Rangga Mataram, tentu mereka itu dapat dimanfaatkan oleh Tumenggung dari Surabaya itu untuk melawan Mataram. "Hem .." desahnya. "Apakah mereka menggunakan cara selayaknya prajurit Ki Tumenggung" tanya Ki Patih. "Tidak Ki Patih, mereka menanggalkan semua ciri – ciri keprajuritannya" "Itulah yang lebih membuatku prihatin Ki Tumenggung, mereka akan mengumpulkan beberapa perguruan yang tersebar di seluruh bang wetan untuk memusuhi Mataram, mereka tentu tidak mempunyai jiwa keprajuritan, mereka akan bergerak liar tanpa tali ikatan dan itu tentu sangat menyulitkan kita" "Benar Ki Patih, gerakan itu berhenti pada setiap derah dan mereka selalu menunjukan kemampuannya bahkan selalu menantang semua perguruan dimana saja, siapa yang kalah akan menjadi pendukung gerakan itu Ki Patih, Adipati Mojokertopun telah dikalahkannya," "Perguruan mana yang menjadi tulang punggungnya, Ki Tumenggung Wirabaya ?" Nampak Ki Tumenggung diam sejenak mendengar pertanyaan itu, segera diingatnya nama sebuah perguruan yang telah disebutkan oleh telik sandi Mataram itu. "Mereka menyebutnya Perguruan Kalisat yang di pimpin oleh seorang empu yang bernama Empu Ijen, Ki Patih" Ki Patih Mandaraka tampak terdiam, dicobanya untuk mengenal dan menyusuri pengetahuannya tentang daerah timur tetapi belum pernah didengarnya nama perguruan yang seperti diceritakan oleh ki Tumenggung itu Wirabaya itu. "Baiklah Ki Tumenggung, pembicaraan kita hari ini sudah cukup, aku minta tolong padamu, mampirlah ke Sanggar Bedoyo, katakanlah ke pada Pangeran Pringgoloyo bahwa besok wayah temawon aku menunggunya di Kepatihan." "Baiklah Ki Patih, perkenankan hamba mohon diri" selesai mengaturkan sembah maka Tumenggung Wirabayapun bergeser dan melangkah meninggalkan kepatihan. Sepeninggal Tumenggung Wirabaya, Ki Patih Mandaraka tampak termenung, pikirannya telah melayang kesegala sudut kota raja," Apakah bakal terjadi ontran – ontran di tanah Mataram ini ?" Ki Patihpun segera teringat kepada sahabatnya, Ki Waskita. Dingatnya saat perang tanding antara Ki Rangga dan Pangeran Jayaraga saat itu Ki Waskita telah mengeluh" Apa yang akan terjadi di tanah ini ?" "Hem.. aku akan datang menemui Ki Waskita" gumamnya lirih. Dengan wajah sedih Ki Patihpun segera berdiri dan berjalan menuju gandok apitan, seorang abdi dalem segera menyembah dan mempersilahkannya. Segera Ki Patih Mandaraka masuk dan duduk memandang kesebuah tirai berwarna kuning keemasan. Hatinya bergetar sesaat, segera ia berdiri dan dibukanya tirai itu, nampak sebuah peti besar yang terbuat dari kayu jati berukiran sangat halus tergolek disana, dengan sangat berhati hati dibukanya peti itu perlahan dan diambilnya sesuatu di dalam peti itu. "Apakah sudah saatnya aku mempergunakan pusaka ini kembali" gumam Ki Juru perlahan. Kekhawatirannya terhadap kelangsungan Trah Mataram telah membuatnya menyentuh benda pusaka itu lagi. Keris pusaka Kanjeng kyai Kalam Bumi, sebuah keris dengan luk tiga belas pemberian Kedaton Giri telah kembali di diselipkan pada pinggangnya, Sebuah pusaka yang diterimanya dari Sunan Giri dan pusaka itu telah menemani hampir sepanjang perjalanan hidupnya, meskipun selapis di bawah pusaka Kala Munyeng Sunan Giri tetapi pusaka itu terasa mempunyai pamor dan perbawa yang luar biasa bagi pemiliknya, segeralah pusaka itu menyatu dalam jiwa dan raganya. Pusaka itulah yang menemaninya, bersama Ki Gede Pemanahan dan Ki Penjawi menghadapi Raden Aryo Penangsang dan pasukannya dari Jipang kala itu. Seorang Pangeran dengan Kyai Brongot Setan Kober ditangannya, pusaka ampuh pemberian Sunan Kudus. "Semoga aku tidak mempergunakannya lagi" doanya dalam hati. Setelah mengatakan sesuatu kepada abdi dalem yang menjaga ruangan itu, segera Ki Patih bergegas menuju gandok wetan dan menemui seseorang. "Ki Sumokraton, aku memerlukan bantuanmu, malam ini pergilah ke Tanah Perdikan Menoreh dengan dua pengawal kepercayaanmu, menghadaplah kepada Ki Gede Menoreh dan sampaikan salamku, setelah itu sampaikan bahwa besok sore aku akan berkunjung ke Menoreh dan sampaikan juga aku memerlukan Ki Waskita hadir ," berkata ki Patih kepada orang kepercayaannya itu. Tampak Ki Sumokraton mendengarkan secara seksama semua permintaan Ki Patih Mandaraka, segera ia berucap," Ki Patih, apakah ada hal lain yang akan hamba sampaikan kepada Ki Gede Menoreh ?" "Tidak Ki cukup itu saja, aku akan singgah ke barak pasukan khusus yang ada di Menoreh sebelum aku ke padukuhan induk ." jawab Ki Patih. "Hamba mohon diri Ki Patih" Segera Ki Sumokraton bergeser dan meninggalkan gandok wetan. Ki Juru Mertani segera melangkahkan kakinya menuju biliknya, setelah menyimpan rapi keris pusakanya maka kakinya segera melangkah ke luar dari Kepatihan menuju masjid di lingkungan istana untuk menunaikan kewajibannya. Malampun telah tiba dan bulanpun telah menjalankan tugasnya menerangi bumi Mataram Sementara itu di padepokan orang bercambuk Jati Anom, suasana kegembiraan serasa membekap jantung semua penghuninya, semua cantrik dengan wajah berseri selalu berada di sekitar Glagah Putih dan Rara Wulan, bahkan teman semasa kecilpun telah berdatangan. Perasaan Ki Widura serasa mengambang di awan, kehadiran putra satu – satunya itu beserta menantunya sangat membesarkan hatinya. Rara Wulan merasakan ketenangan dan kenyamanan hidup yang sepertinya belum pernah ia rasakan. Siang hari pasangan muda itu terlihat menerima tamu – tamu sekitar padepokan dan malam harinya bersama Ki Widura telah masuk sanggar untuk menempa para cantrik padepokan itu. Saat tengah malam, didalam sanggar tersisa Ki Widura dan sepasang suami istri, mereka telah membicarakan sesuatu. "Glagah Putih dan Rara Wulan, ketahuilah bahwa aku sudah mengetahui terlebih dahulu tentang kembalinya orang tua yang sangat kita hormati itu" Ki Widura mulai berbicara setelah mendengar cerita yang panjang dari anaknya. Keheranan telah hinggap di benak pasangan muda itu, mereka terus memperhatikan perkataan ayahnya itu. Ki Widura berhenti sejenak, segera menarik nafas dalam – dalam, kemudian katanya," Sebelum pergi ke Menoreh, Kyai Gringsing ternyata telah datang ke padepokan ini, bahkan sempat pula orang tua yang baik hati itu memberi petunjuk kepadaku tentang olah kanuragan," "Apa maksudnya, ayah ?" tanya Glagah Putih. "Kedatangan seseorang sangat aneh pada saat itu, Kyai Gringsing hadir sama persis seperti saat datang ke Sangkal Putung untuk menemuiku kala itu," desis Ki Widura, seraya mengingat kejadian demi kejadian saat pasukan Tohpati menyerang Sangkal Putung. "Bagaimana kejadiannya, ayah ?" Rasa ingin tahu telah mendesaknya bertanya kepada ayahnya. "Saat menjelang wayah sepi bocah, di pancingnya ayahmu yang sudah tua ini untuk keluar dari padepokan pergi kesuatu tempat yang tidak banyak dikunjungi orang, hutan kecil di selatan Jati Anom ini" Ki Widura berhenti sejenak, dikenangnya peristiwa yang terjadi beberapa saat yang lalu itu dan Glagah Putih serta Rara Wulan terasa seakan menyaksikan peristiwa itu. Ki Widura dengan kaki renggang telah mengadap orang bertopeng dan berjubah lurik itu, perasaan aneh telah berkecamuk didadanya. "Kenapa kau selalu mengikuti ku Ki Widura, bukankah aku tidak mempunyai persoalan apapun dengan padepokanmu ?" tanya orang bertopeng itu. KI Widura menarik nafas dalam – dalam, lalu katanya," Kenapa kisanak memberi isyarat kepadaku, isyarat yang tidak wajar dan hanya di pahami oleh orang orang padepokan kami ?" Mendengan perkataan Ki Widura, meledaklah tawa orang bertopeng itu, "Ki Widura, umurmu sudah tua tetapi pengetahuanmu masih saja terlalu dangkal, apakah yang kau ketahui tentang isyarat itu, he ?" Ki Widura tampak mengatupkan bibirnya rapat – rapat menahan gejolak didadanya, kecurigaannya semakin besar, takkala mendengar orang bertopeng itu berkata," Isyarat itu sebenarnya aku tujukan kepada Untara, bukan kepadamu, aku menduga bahwa Untara ada di padepokan saat itu, dengan menerima isyaratku maka Untara akan mengerti musuh bebuyutannya telah datang dan akan menagih janji kepadanya" Suara tertawa yang sangat aneh telah terdengar lagi, menebar menggelitik bunga – bunga liar yang tumbuh dihutan kecil itu. "Sudahlah kisanak, aku semakin tidak mengerti apa yang kau ucapkan, marilah kita duduk dan istirahat dipadepokan, sementara cantrikku akan memanggil angger Untara seperti yang kau kehendaki" kata Ki Widura dengan nada berat. "Tetapi jika kau tidak mau maka aku akan memaksamu." Terdengar orang bertopeng itu menggeram dan dengus nafasnya terdengar memburu," Baiklah Ki Widura aku terpaksa akan melawanmu jika kau masih ingin menangkapku, yakinlah bahwa hanya Untara yang bisa melawanku, ilmumu masih terlalu dangkal untuk menantangku," "Jangan meremehkan aku kisanak, apakah kau merasa mempunyai ilmu sundul langit sehingga kau berani meremehkan aku ?" kata Ki suara sedikit bergetar. "Ilmumu masih di bawah Untara, apalagi jika dibandingkan dengan adik Untara yang ada di Menoreh itu" katanya mengejek. Mendengar dan merasa selalu disudutkan dan diremehkan maka semakin lama Ki Widura semakin tak bisa menahan dirinya lagi dan orang bertopeng itu telah menyebut beberapa anggota keluarganya" Hem..Apakah memang orang ini mengusung dendam pada keluarga Ki Sadewa, orang ini tentu mempunyai ilmu tinggi tetapi siapakah orang ini ?" Ejekan dan segala perkataan yang merendahkan dirinya terus meluncur deras dari balik topeng itu, yang pada akhirnya Ki Widura telah kehilangan kesabarannya. "Menyerahlah kisanak ! Hem .. sekali lagi aku menawarkan padamu, marilah singgah dipadepokanku , jika kau menolak maka aku akan segera menangkapmu, melawan atau tidak melawan" Sekali lagi orang bertopeng itu tertawa sampai tubuhnya terguncang, katanya," aku akan melawan saja, tetapi jangan salahkan aku jika nanti tubuhmu babak belur Widura" Tiba – tiba dan tanpa aba – aba orang bertopeng itu secepat tatit telah meloncat menyerang Ki Widura, sebuah tendangan mengarah ke ulu hati, menanggapi serangan itu Ki Widura dengan tangkasnya telah bergerak kesamping dan memukul kaki lawannya itu., sebuah benturan kecil terjadi dan tak menggoyahkan keduanya. Segera orang bertopeng merendah melancarkan serangan dengan jurus sapuan, tubuhnya berputar seperti gangsingan mengempur kuda – kuda ki Widura, tak membiarkan dirinya terjungkal maka segera Ki Widura melenting dengan cepat dan tangannya terjulur menggapai kening lawannya. Orang bertopeng itu terdengar menggeram melihat kelincahan lawannya, tiba – tiba dengan satu gerakan yang rumit orang bertopeng itu menghindari sentuhan tangan Ki Widura dan sekaligus membalasnya dengan telapak tangan terbuka., sebuah pukulan telah menghantam pundak bagian belakang, terasa dorongan sangat besar dan menyakitkan menerpa tubuh Ki Widura. "Nah .. aku sudah mengenaimu Widura, sekarang apa katamu ? Ilmumu belum sekuku irengnya Agung Sedayu, keponakanmu itu" suara tertawa menggema orang bertopeng itu terdengar sekali lagi. Ki Widura tidak menjawab, matanya memandang tajam kearah orang bertopeng itu, segera ditingkatkan ilmunya, tenaga cadangan telah dihimpun dan dikerahkannya meskipun belum sampai puncaknya. Keduanya kembali terlibat dalam pertempuran yang cukup sengit, bayangan tubuh orang bertopeng itupun semakin jarang menyentuh tanah sedangkan Ki Widurapun terus memburunya seakan tak mau melepaskan bayangan itu. Sebuah pukulan tangan kanan yang didorong oleh tenaga cadangan yang besar telah mendarat didada orang bertopeng itu, tetapi alangkah terkejutnya Ki Widura melihat akibat pukulannya, orang bertopeng itu seolah tak merasakan apa-apa, bahkan masih terdengar suara tertawanya yang aneh. "Hem .. aku tak menyangka Widura kau dapat bergerak secepat itu, tetapi sayangnya pukulanmu seperti pukulan anak kecil yang baru belajar olah kanuragan" Darah Ki Widura seakan menggelegak mendengar kata – kata itu, diperhatikan lawannya yang tengah mondar – mandir itu. "Baiklah ki sanak, aku akan segera mengerahkan kemampuanku yang sebenarnya dan aku tidak akan ragu – ragu lagi, jangan salahkan aku jika kau merasakan akibatnya." Tanpa menunggu jawaban orang bertopeng itu, segera Ki Widura meloncat menerjang serta melibat lawannnya dalam sebuah pertempuran yang rumit, gerakannya semakin ringan dan pukulannya pun semakin mantap dan berat bahkan terasa udara dingin telah mengiringi gerakannnya, orang bertopeng itu terkejut saat melihat perubahan tata gerak lawannya, tetapi dia masih belum kehilangan akalnya, dengan lincahnya ia berkelebat cepat, seakan tubuhnya tidak berbobot. "Widura mana ajianmu, kalau hanya mengandalkan gerakan dengan ilmu meringakan tubuh saja tentu kau akan segera menemui kesulitan" teriak orang bertopeng itu. "Aku tidak ingin membunuhmu kisanak, aku hanya ingin menangkapmu" jawab Ki Widura sampil menyerang lawannya. Pertempuran telah meningkat semakin cepat, sangatlah mengherankan, semakin meningkatkan ilmunya Ki Widura merasa semakin ada jarak antara ilmunya dan ilmu orang bertopeng itu, sampai satu ketika sebuah pukulan telah mengguncang dada Ki Widura. Dan pukulan itu telah melebihi dari daya tahannya, Ki Widura telah terdorong tiga langkah surut. "Kau ceroboh Widura, pertahananmu semakin terbuka bila kau terlalu bernafsu untuk menyerang, kedua - duanya harus seimbang" terdengar celoteh orang bertopeng itu. "Apakah kau mempunyai ilmu lain selain kecepatan gerak, Ki Widura ?" Warna merah telah merambat ke wajah tua Ki Widura, selama ini belum pernah ada orang yang bertempur melawannya setangguh orang bertopeng itu, dengan terpaksa diungkapkannya satu persatu ilmunya, pertama yang diungkapnnya adalah ilmu pertahanannya, sebuah ilmu kebal yang dipelajari dari kitab kakaknya Sadewa, kitab perguruan Jati Laksana – Lembu Sekilan. Perubahan tata gerakpun segera terjadi, Ki Widura dengan mantap telah menyerang lawannya, benturan dengan lawannya seolah tak dirasakannya, bagai orang kesurupan paman Agung Sedayu itu telah meyerang lawannya, bahkan ditangannya telah tersalur ajian Lebur Seketi meskipun belum pada puncaknya, sekilas terlihat orang bertopeng itu terdesak surut beberapa langkah," He ! Widura, apakah kau benar – benar ingin membunuhku" teriak orang bertopeng itu sambil menghindar. Ki Widura tidak segera menjawab, serangannya menjadi semakin rumit dan cepat, kemanapun lawannya bergerak selalu diikutinya, keyakinannya terhadap ilmu lembu sekilan yang tidak akan tertembus oleh serangan lawannya benar –benar membuat Ki Widura semakin leluasa bergerak, ayah Glagah Putihpun merasa semakin yakin akan segera dapat mengalahkan lawannya, dalam kekalutan menghadapi serangan Ki Widura , tiba – tiba orang bertopeng itu melontarkan dirinya kebelakang, seolah mencari kesempatan untuk menarik nafas, dia berdiri membelakangi pohon mahoni. "Apakah kau menyerah kisanak ?" tanya ki Widura yang telah menghentikan serangannya itu. Terdengar orang bertopeng itu tertawa perlahan dan disela –sela tertawanya, dia berujar," Ada apa dengan kau Widura ? Apakah kau sudah mengalahkanku ? Ketahuilah, kalaupun aku meloncat mudur bukan berarti aku menyerah, aku justru memberimu kesempatan untuk bernafas sebab sangat tidak pantas apabila aku bertempur dengan orang yang nafasnya hampir terputus," Tampak kerut didahi Ki Widura semakin dalam, tak disangkanya hari ini dia bertempur melawan orang yang sangat aneh. "Ki Widura, apakah kau menyadari kebenaran dari ucapanku itu ?" Darah Ki Widura benar – benar mendidih, mulutnya menjadi kelu, sekejap kemudian bagaikan terbang Ki Widura telah meloncat kearah lawannya yang berdiri tegak itu, kedua tangannya mengembang dan terasa telah bergetar hebat dan sesaat lagi pasti membentur dada lawannya. Orang bertopeng itu menyadari dengan segala ucapannya, dia terus membangkitkan kemarahan Ki Widura, usahanyapun telah berhasil dan kini ia tengah menanti pukulan dari orang padepokan bercambuk itu. Kurang sejengkal dari dadanya, tiba – tiba orang bertopeng itu telah bergerak, sebuah gerakan yang tidak kasat mata, ia telah berpindah tempat. Datanglah pukulan yang dahyat itu, menerpa pohon mahoni yang berdiri tegak perkasa, akibatnya pohon mahoni bagaikan terguncang hebat, daun – daun yang telah menguning, dahan yang telah lapukpun segera berguguran dan jatuh ketanah, terlihat jelas bekas sentuhan tangan Ki Widura itu, kulit pohon mahoni yang besar itu telah terkelupas dan bekas kehitaman telapak tangan telah menempel di pokok pohon itu. "Luar biasa, Widura" desis orang bertopeng itu. "Bagaimana akibatnya bila menyentuh dadaku ?" dan sekali lagi terdengar suara tertawa kecil keluar dari balik topeng itu. Sementara itu Ki Widura bagaikan orang kehilangan akal, merasa serangannya gagal maka diapun segera menyiapkan serangan berikutnya. Sebuah gerakan cepat segera memburu dan melibat lawannya, gerakan yang dilandasi ilmu perguruan Windujati benar – benar telah diterapkannya. Desir angin yang kuat serta udara yang dingin telah mengiringi serangan Ki Widura. Orang bertopeng itupun segera meningkatkan ilmunya, dia tidak lagi banyak bicara, dia tidak mau tersentuh tangan lawannya. Tanah di hutan kecil itu segera teraduk – aduk dan rumput ilalang segera berserak tercabut dari akarnya, dua bayangan nampak berputar – putar dan saling menyerang, tubuh mereka seolah telang mengapung diudara, sangat sulit bagi mata telanjang untuk mengikuti pertempuran itu. Satu Kejadian berikutnya benar – benar mencengkam benak dan dada Ki Widura, Ilmu Lembu Sekilan yang telah diterapkan sampai puncaknya itu telah dapat di tembus olah lawannya. Sekali lagi sebuah sentuhan dengan ibu jari telah meraba keningnya dan memecahkan ilmu kebalnya, terasa seolah bumi bagai perputar dan awanpun runtuh menimpa tubuhnya, paman Agung Sedayu itu telah terpelating dan tubuhnya bagai terlempar dan telah jatuh berguling – guling. "Lembu sekilan yang jelek Ki Widura" ejek orang bertopeng itu. "Bagaimana akibatnya jika aku menggunakan sepenuh kekuatan, tentu tubuhmu akan hancur Ki Widura, mengapa kau tidak mempergunakan ilmu pertahanan yang telah diwariskan oleh gurumu ? Mengapa tidak kau pergunakan aji Bayu Lampah atau memang kau belum menguasainya ?" Ki Widura benar - benar tercengang, seolah kehabisan akal, tanpa sadar tangannya telah meraba sesuatu yang membelit dilambungnya. Selesai bicara, tanpa menunggu Ki Widura memperbaiki keadaannya, secepat tatit diudara, orang bertopeng itu bagaikan terbang dengan tangan mengembang dan jari – jarinya telah merapat, laksana burung rajawali menyambar mangsanya dan turun dengan derasnya, tangan kanannya mengepal telah menghantam pokok pohon mahoni disamping Ki Widura berdiri, bukan main akibatnya, terlihat pohon itu tidak berguncang sedikitpun, pohon mahoni itu tidak terbakar dan masih tetap tegak berdiri dengan kokohnya. Mata Ki Widura bagaikan terbelalak menyaksikan akibat pukulan itu, ternyata pada batang mahoni yang besar itu telah berlubang sebesar kepala kerbau, dari sisi satu telah menembus ke sisi yang lainnya. "Lihatlah Widura, bagaimana jika pukulan itu menerpa tubuhmu, meskipun lembu sekilanmu rangkap tiga aku masih yakin dapat menembusnya ?" terdengar orang bertopeng itu berkata perlahan. Kepalanya menjadi semakin pening dan nalarnya semakin kabur, menyaksikan kemampuan lawannya. "Apakah angger Untara dan angger Agung Sedayu sanggup menghadapi orang ini ?" pikiran itu terlintas di benaknya," Bagaimana mungkin orang bertopeng itu mengetahui seluk beluk ilmunya ?" Pertanyaan telah membelit otaknya yang tidak segera ditemukan jawabnya. "Ki Widura, apakah kau membawa senjata ? Pinjamkan cambukmu padaku, jangan takut aku tak berniat menyakitimu apalagi membunuhmu" Keraguan yang sangat telah mencengkam dadanya, ilmu orang bertopeng itu jauh diatas awan baginya, bagaimanapun tentu sangat mudah bagi orang tiu untuk membunuhnya, senjata tak akan diperlukannya untuk menghabisi seorang Widura. Perasaan aneh telah berkecamuk didadanya, sementara itu terdengar orang bertopeng itu berkata," Baiklah Ki Widura aku tak akan meminjam senjatamu, aku akan mencari penggantinya saja." "Widura, lihatlah batu hitam itu !" Selesai bicara, dengan sedikit ancang –ancang orang bertopeng itu telah meloncat tinggi, dengan cepat tangannya menghentak sulur pepohonan hingga terputus, dan sekali menjejak tanah orang bertopeng itu telah melenting, sulur pepohonan itu telah berputar diatas kepalanya, suara desing dan terpaan angin dingin telah menyakiti dada Ki Widura, sesaat kemudian sulur pepohonan itu telah disentakannya, sekejap sinar hijau kebiruan telah menerpa batu hitam sebesar sapi lanang itu, tidak ada ledakan dan tidak ada debu yang berhamburan, ternyata batu hitam itu telah berubah warna menjadi keputihan. Bagaikan orang yang telah tertidur panjang dengan mimpi yang sangat menyeramkan, Ki Widura telah terduduk membeku. "Ki Widura datanglah ke batu hitam itu, lihatlah apa yang terjadi, mungkin suatu saat akan menarik perhatianmu." kata orang bertopeng itu perlahan. Seperti kena ilmu sihir sekaligus ilmu gendam maka Ki Widurapun segera berjalan menuju batu hitam yang telah berubah warna itu. beberapa langkah ayah Glagah Putih itu berhenti dan diamatinya batu putih itu, dengan menahan nafas, perlahan – lahan dan gemetar digerakan tanganya menyentuh batu itu," Subhanalloh" batu itu telah berubah menjadi es dan segera mencair membasahi tanah. Sebuah kedahsyatan ilmu yang belum pernah di bayangkannya, beberapa saat dia bagai membeku menatap batu es itu dan dirabanya kembali, seolah tak percaya. Sebongkah kekaguman telah merayapi hatinya, tidak beberapa lama Ki Widurapun berdiri dan membalikkan badannya, alangkah terkejutnya, ternyata orang bertopeng itu telah menghilang. Ki Widura menarik nafas dalam – dalam, kedua belah tangannyapun telah bergerak menutup mukanya dan kemudian bergeser kebawah, sebuah aura kesegaran nampak diwajahnya yang telah menua itu. "Seperti itulah kejadiannya anakku," terdengar ki Widura berdesis. "Tetapi bagaimana ayah bisa memastikan bahwa orang bertopeng itu adalah Kyai Gringsing ?" tanya Rara Wulan. "Kyai Grinsing telah masuk di sanggar ini anakku, dan telah duduk ditempatmu itu Glagah Putih, orang tua itu terlihat sedang menunggu kedatanganku" jelas Ki Widura. "Guru sepuh itu telah bercerita banyak kepadaku sebelum menemui kalian di Menoreh" sambungnya. "Ayah memanggilanya sebagai guru sepuh, siapakah guru mudanya ?" Rara Wulanpun segera bertanya. Glagah Putih tak dapat menahan tawanya mendengar pertanyaan yang menggelikan itu. "Rara, siapa guru muda itu menurutmu" tanya Galagah Putih. "Kakang Agung Sedayu" jawab Rara Wulan pasti. "Nah ..kalau sudah tahu, kenapa kau tanyakan ?" kata suaminya sembari tersenyum, "Kakang benar, kenapa aku tanyakan ya ?" katanya perlahan sambil menahan senyumnya. Melihat keduanya, hati Ki Widura terasa tentram seperti tersiram air padasan. "Glagah Putih dan Rara Wulan sebelum pergipun, guru sepuh telah memberiku satu perkataan yang harus selalu kupikirkan," Ki Widura, kehebatan seseorang itu sama sekali bukan terlihat dari berapa banyak harta benda yang ia kumpulkan, bukan pula dari berapa tinggi kesaktian yang ia tunjukkan, sebenarnyalah kehebatan seseorang itu akan terlihat saat dia bisa menerima dan melihat indahnya suatu perbedaan, harta, derajat dan pangkat hanyalah sebuah titipan yang sangat tidak patut untuk dipamerkan, tiada kuasa manusia yang akan melebihi KuasaNYA," Glagah Putih dan Rara Wulan tampak tertunduk, mereka meresapi apa yang telah disampaikan oleh Kyai Grinsing dengan lantaran ayahnya, keduanya mencoba mengurai makna di balik perkataan itu. "Anakku berdua, tidak mudah mencerna nasehat mulia itu, masih banyak diantara kita yang telah berbuat sebaliknya" Ki Widura terdiam sejenak, lanjutnya," Diperlukan tekad yang besar dalam diri kita untuk memulai menekan hawa nafsu yang sering meledak - ledak ini, kesadaran akan keberadaan kita sebagai manusia, itu dulu yang harus dipahami" "Kesadaran kita sebagai manusia" kalimat itu terngiang di benak kedua anak muda itu, "Apa maknanya ayah ?" tanya Glagah Putih. Ki Widura tidak segera menjawab, diingatnya kelanjutan perkataan guru sepuh sebelum meninggalkan padepokan itu, seolah telah terngiang kembali semua perkataan itu. " Manusia itu adalahciptaanNya yang paling sempurna Ki Widura, diberiNya akal dan pikiran, diberiNya semua kelengkapan untuk hidupnya dan diberikanNya pula semua kebutuhan hidupnya, tetapi sangat sedikit diantara kita yang mengerti, bagaimana seharusnya mempergunakan semua pemberianNya itu." "Ki Widura, bukankan kita yang menerima ini juga harus memberi dan sebaliknya, bukankah kita yang dilayani ini juga harus melayani, bukankah kita ini mempunyai rasa kebaikan, rasa kasih sayang dan rasa menghormati serta masih banyak rasa manusiawi lainya di muka bumi ini, tetapi ku mohon padamu Ki Widura, segeralah mengerti, bahwa ada satu kata yang bisa mewakili penampakan wadag dan rohani kita yaitu kata syukur, selalu bersyukurlah pada Sang Pencipta, percayalah tiada kejelekan atau keburukan yang akan diberikan kepada kita olehNya." Ketiga semakin hanyut oleh perkataan orang tua yang sangat mereka hormati itu. "Sudahlah anakku, beristirahatlah, mumpung masih sempat, sebentar lagi sudah menjelang pagi, bukaknkah nanti kedua saudaramu dari Sangkal putung akan kemari dan kalian akan melanjutkan perjalanan ke Menoreh" kata Ki Widura menyadarkan mereka. "Kakangmu Untara juga sudah memberi bekal kepada kalian yang sudah aku simpan, rupanya kakangmu Untara terlupa saat kau datang kerumahnya saat itu, dan sebelum kau pergi sebaiknya kau melihat ke makam ibumu, doakanlah ibumu supaya mendapat tempat yang baik di sisiNya."

Sungguhpas dengan cuaca sedikit mendung dan hawa sejuk pegunungan. Hal lain seperti pendokumentasian dan pendataan anggrek spesies di sekitar lereng Merapi belum dirasa perlu oleh Musimin. Saat itu bertepatan pula dengan pembangunan green house baru di sana. Tim Kagama Orchids menyempatkan untuk mengamati proses, dan memberi masukan

Siangini permukaan kali Code, sungai yang melintas di tengah Kota Yogyakarta kembali meninggi. Hal ini terjadi akibat hujan deras yang terus mengguyur lereng gunung Merapi. AktivitasMerapi sudah memasuki fase pembentukan awan panas guguran lava hingga sekarang masih berlangsung seperti itu, dengan instensitas yang rendah sehingga tidak membahayakan masyarakat di pemukiman lereng Merapi. Menurut dia, masyarakat tetap beraktivitas seperti biasa di ladangnya. Dan, mereka menikmati aktivitas Merapi seperti biasa. TRIBUNBENGKULUCOM - Viral video detik-detik 2 truk terjebak lereng Gunung Merapi di Desa Sidorejo, Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.. Dua unit truk penambang pasir yang sedang melaksanakan aktivitas penambangan di alur kali itu terjebak banjir. Beruntung tidak ada korban jiwa dan korban luka atas peristiwa itu, namun kedua truk hingga Selasa (19/4/2022) sore masih berada di 0oHsv20.
  • 7mzky1odcm.pages.dev/217
  • 7mzky1odcm.pages.dev/165
  • 7mzky1odcm.pages.dev/118
  • 7mzky1odcm.pages.dev/291
  • 7mzky1odcm.pages.dev/132
  • 7mzky1odcm.pages.dev/387
  • 7mzky1odcm.pages.dev/259
  • 7mzky1odcm.pages.dev/108
  • 7mzky1odcm.pages.dev/121
  • mendung di lereng merapi 7